Cari Blog Ini

BiLLy TaMa

BiLLy TaMa

Rabu, 28 Juli 2010

DUALISME HUKUM PIDANA DI NANGROE ACEH DARUSSALAM : ANALISIS TERHADAP DAMPAK PENERAPAN HUKUM ISLAM

Makalah

DUALISME HUKUM PIDANA DI NANGROE ACEH DARUSSALAM :
ANALISIS TERHADAP DAMPAK PENERAPAN HUKUM ISLAM

Pagar
Dosen Fakultas Syari`ah IAIN Sumatera Utara Medan

Abstrak
Tulisan ini adalah hasil penelitian dari judul seperti dikemukakan di atas. Penelitian ini ingin menyoroti tentang dampak penerapan hukum Islam yang sudah terlaksana di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dalam kaitannya dengan dualisme hukum pidana. Hukum pidana Indonesia di satu sisi selama ini secara umum termasuk NAD berpedoman kepada KUHP & KUHAP yang diterapkan lewat Pengadilan Umum, di sana ada banyak hal yang tidak dikenal pada syari`at Islam. Sekarang ini NAD lewat Otonomi khusus yang seluas-luasnya mendapat kesempatan istimewa untuk menerapkan syari`at Islam secara kaffah, tidak terkecuali hukum pidana Islam, dan ini dilakukan lewat Mahkamah Syari`ah.
Lebih rinci, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Sejauh mana dualisme hukum pidana yang terjadi di NAD sehubungan dengan penerapan syari`at Islam di sana ?
2. Hukum pidana apa saja yang sudah diterapkan di NAD ?
3. Kepada siapa saja hukum Islam itu diberlakukan ?
4. Sejauh mana kemungkinan Mahkamah Agung dapat menukar keputusan hukum Mahkamah Syari`ah, dan Mahkamah Syari`ah Propinsi di NAD ?
Tujuan penelitian dapat dikemukakan sebagai berikut;
1. Untuk mengetahui sejauh mana dualisme hukum pidana yang terjadi di NAD sehubungan dengan penerapan syari`at Islam di sana.
2. Untuk mengetahui hukum pidana apa saja yang sudah diterapkan di NAD.
3. Untuk mengetahui kepada siapa saja hukum Islam itu diberlakukan.
4. Untuk mengetahui sejauh mana kemungkinan Mahkamah Agung dapat menukar keputusan hukum Mahkamah Syari`ah, dan Mahkamah Syari`ah Propinsi di NAD.
Hipotesis yang dikemukakan adalah diduga kuat bahwa sehubungan dengan adanya aturan yang jelas, dan sikap taat hukum dari pihak penegak hukum, maka tidak terjadi dualisme hukumk pidana di NAD .
Penelitian ini diselesaikan dengan menggunakan langkah-langkah;
Penelitian ini ditetapkan sebagai penelitian lapangan yang berlokasi di Propinsi NAD. Sehubungan dengan itu, yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Propinsi NAD secara keseluruhan, yang terdiri dari 21 Daerah Tk.II, yaitu 17 Kabupaten dan 04 Kota. Selanjutnya, untuk efisiensi dan kebutuhan yang ada, dengan tetap mempertahankan aspek representativitas penelitian ini, maka ditentukan sampel hanya terbatas pada empat daerah Tk. II saja, yaitu; Banda Aceh, Aceh Utara, dan Aceh Timur, dan Aceh Selatan. Pada tiap-tiap lokasi Daerah TK II dari sample tersebut ditentukan 40 orang responden. karenanya sample pada empat lokasi tersebut berjumlah 3 X 40 orang = 160 orang responden. Semua ini dijaring lewat alat pengumpulan data, yaitu; a). Observasi b). Intervew dan c). Angket.
Sesuai kapasitas penelitian ini, maka sumber penelitian ini terdiri dari; 1). Sumber primer, yaitu keseluruhan data yang diperoleh dari lapangan, 2). Sumber skunder, yaitu data yang bersifat literature, dan ini akan diperoleh dari berbagai buku yang tersedia.
Berdasarkan kebutuhan yang ada, maka penelitian ini diselesaikan dengan menggunakan metode induktif, lewat pendekatan hukum dan sosiologis yang diolah secara deskriptis analitis. Selanjutnya disajikan dalam bentuk penelitian kualitatif.
Ternyata, hasil penelitian menunjukkan bahwa berlakunya syari`at Islam di NAD tidak berimplikasi kepada munculnya dualisme hukum pidana. Hukum pidana Islam yang berlaku di NAD baru sebagian kecil saja, yaitu; 1). Tentang Pelaksanaan Syari`at Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi`ar Islam yang diatur oleh Qanun Nomot 11 Tahun 2002, 2). Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya yang diatur oleh Qanun Nomor 12 Tahun 2003., 3). Tentang Maisir (Perjudian) yang diatur oleh Qanun Nomor 13 Tahun 2003., 4). Tentang Khalwat (Mesum) yang diatur oleh Qunun Nomor 14 Tahun 2003., 5). Tentang Pengelolaan Zakat yang diatur oleh Qanun Nomor 7 Tahun 2004. Hukum pidana Islam itu hanya berlaku bagi masyarakat muslim (baik masyarakat NAD, maupun bukan) yang melakukan tindak pidana di NAD, sedang bagi non muslim tidak berlaku sama sekali, demikian juga masyarakat NAD yang melakukan tindak pidana di luar NAD. Dalam bentuk realitas belum ada perkara yang dimohonkan banding, apalagi kasasi ke Mahkamah Agung, karenanya belum terlihat adanya keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan atau pun mengukuhkan putusan Mahkamah Syari`ah, dan Mahkamah Syari`ah Propinsi yang berdasar kepada qanun tersebut. Secara teoritis, dipahami bahwa Otonomi khusus yang seluas-luasnya bagi NAD untuk melaksanakaan syari`at Islam, mengantarkan kita untuk mempedomani prinsip hukum lex specialis derogat lex generalis (peraturan khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum), artinya KUHP & KUHAP tidak diberlakukan bagi masyarakat muslim di NAD sepanjang telah diatur oleh qanun.





Pendahuluan
Sejak awal pembentukan Negara Republik Indonesia ini, para pendiri bangsa (founding fathers) telah sepakat memancangkan dasar dan falsafah negara adalah Pancasila dan UUD 1945, di mana sila pertama Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Mahaesa, dan salah satu pasal dari UUD 1945 itu menjamin kemerdekaan seluruh penganut agama untuk dapat menjalankan ajaran agamanya. Indonesia dalam bentuk ini dinyatakan sebagai negara dalam dimensi duniawi, namun tetap memberikan tempat bagi setiap warganya untuk melaksanakan ajaran agama. Dengan demikian pluralitas warga dari berbagai aspeknya harus tunduk dan patuh terhadap Hukum Nasional yang berlaku secara universal bagi seluruh komponen bangsa di mana pun mereka berada dengan tanpa kecuali.
Secara historis terlihat adanya upaya simultan kelompok Islam sebagai penduduk mayoritas Indonesia untuk berkeinginan mewarnai dasar negara dengan nuansa keisalaman. Hal ini telah dimulai sejak awal kemerdekaan diperoleh dan berkesinambungan sampai era reformasi sekarang ini, misalnya; a). Perbincangan Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berakhir dengan kesepakatan penghapusan tujuh kata “… dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluknya”, dan penghapusan ini diganti dengan klausa “Ketuhanan Yang Mahaesa”, sebagai prinsip monotheisme yang sama-sama dimiliki seluruh anak bangsa sebagai penganut agama. Dengan hal ini, kelompok Islam juga turut merasa memiliki di dalamnya., b). Perdebatan sengit Majelis Konsituante (1956-1959). Partai-partai Islam yang dimotori oleh Masyumi, NU, dan PSII berupaya untuk menghidupkan kembali ide islamisme ini, tetapi karena kelompok ini tidak cukup kuat dibanding dengan kelompok Nasionalis, mereka hanya memperoleh 43 persen suara (114 kursi dari 257 kursi yang ada) lalu ide ini pun kandas juga., c) Terakhir, ide menghidupkan kembali Piagam Jakarta lewat amandemen ke IV pasal 29 UUD 1945 tentang agama yang muncul di era reformasi ini oleh beberapa partai, juga tetap gagal. Dengan demikian, sampai saat ini bangsa Indonesia tetap konsisten dengan dasar negara yang netral agama tersebut.
Nuansa baru dinamika bangsa saat ini ditandai dengan menguatnya posisi Daerah untuk mengatur dirinya sendiri, istimewa sekali Nangroe Aceh Darussalam (NAD) karena telah diberi kesempatan untuk menerapkan syari`at Islam. Era reformasi ternyata telah secara serta merta menggebrak pintu Otonomi Daerah di seluruh Indonesia, bahkan otonomi yang seluas-luasnya bagi NAD untuk dapat melaksanakan sayari`at Islam, hal ini sejalan dengan maksud kelahiran UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839), Kemudian lebih dipertegas lagi dengan lahirnya UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134). Terakhir, lebih dioperasionalkan lagi oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres) 11 Tahun 2003 tanggal 3 Maret 2003 tentang Mahkamah Syari`ah dan Mahkamah Syari`ah Propinsi di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Dengan hal ini dimungkinkan lahirnya hukum pidana Islam di NAD meskipun berbeda dengan hukum pidana Indonesia yang berlaku secara umum di Nusantara ini.


Nangroe Aceh Darussalam
1. Letak Geografis
Nangroe Aceh Darussalam (NAD) adalah sebuah propinsi di Indonesia dari 33 propinsi yang ada, ibu kotanya Banda Aceh (dahulu dikenal dengan nama Kuta Raja). Secara territorial daerah ini terletak pada posisi sebelah Barat paling ujung Indonesia, dia berada persis di ujung pulau Sumatera yang secara langsung berbatasan dengan dunia luar pada Selat Malaka di bagian Utara dan Timur, dan Samudra Indonesia di bagian Barat, selanjutnya sebelah selatan secara langsung berbatasan dengan Daerah Sumatera Utara, karenanya, pinggiran (perbatasan) daerah ini lebih banyak dikelilingi lautan dari pada daratan.
Sampai pada bulan Juli 2005, posisi geagrafis daerah ini dalam bentuk tabel, adalah sebagai berikut :

LETAK GEOGRAFIS PROPINSI NAD

1 N ama Daerah Propinsi nangroe Aceh Darussalam
2 Status Otonomi Khusus
3 Letak 02-06 derajat Lintang Utara
95-98 derajat Lintang Selatan
4 Luas Daerah 5.736.557,- Km
5 Tinggi Rata-rata 125 m di atas permukaan laut
6 Batas daerah :
- Sebelah Utara
- Sebelah Selatan
- Sebelah Timur
- Sebelah Barat Berbatas dengan :
Selat Malaka
Propinsi Sumatera Utara
Selat Malaka
Samudera indonesia
7 Daerah melingkupi - 119 Pulau
- 35 Gunung
- 73 Sungai Penting
8 Banyaknya Daerah Tingkat II - 17 Kabupaten
- 04 Kota
9 Banyaknya Kecamatan 228
10 Banyaknya Mukim 642
11 Banyaknya Kelurahan 112
12 Banyaknya Desa 5.947
Sumber :
- Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) Propinsi Nangroe Aceh Darussalam
- Kantor Gubernur Nangroe Aceh Darussalam
Lahan yang tersedia di NAD berjumlah 5.736.557,00 Ha. Dengan penggunaan sebagai berikut;
LUAS PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM
MENURUT PENGGUNAAN LAHAN, TAHUN 2003

NO PENGGUNAAN LAHAN LUAS (HA) PERSENTASE
1 Perkampungan 112.657,43 1,96
2 Industri 3.868,92 0,07
3 Pertambangan 443,00 0,01
4 Persawahan 314.140,68 5,48
5 Pertanian tanah kering 117.161,12 2,04
6 Kebun 294.934,01 5,14
7 Perkebunan :
- Perkebunan besar
- Perkebunan Kecil
205.550,75
367.501,78
3,58
6,41
8 Padang rumput, alang-alang, semak 223.985,00 3,91
9 Hutan (lebat, belukar, sejenis) 3.929.420,05 68,50
10 Perairan Darat (kolam air tawar, tambak, penggaraman, waduk, danau, rawa) 132.168,41 2,30
11 Tanah Terbuka
(tandus, rusak, land clearing) 18.574,35 0,32
12 Lain-lain 16.151,50 0,28
J U M L A H 5.736.557,00 100,00
Sumber : Badan Pertanahan Nasional Nangroe Aceh Darussalam tahun 2004
Daerah ini juga merupakan pusat gempa bumi yang senantiasa menggetarkan NAD, di antaranya gempa bumi dan sunami dahsyat yang telah menyentakkan dunia karena telah merenggut ratusan ribu jiwa manusia, yang terjadi 26 Desember 2004. Karenanya NAD merupakan daerah yang rawan gempa, dengan penampakan sbb.

BANYAKNYA GEMPA BUMI SETIAP BULAN TAHUN 2003

N JUMLAH GEMPA TERCATAT
O B U L A N Pusat di Prop. NAD Pusat di luar Prop. NAD
Jumlah
1 Januari 164 7 171
2 Pebruari 126 1 127
3 Maret 102 15 117
4 April 136 3 139
5 Mei 100 21 121
6 Juni 140 5 145
7 Juli 121 12 133
8 Agustus 117 7 124
9 September 111 111 122
10 Oktober 116 20 136
11 Nopember 119 13 132
12 Desember 115 24 139
J U M L A H 1.467 139 1.606
Sumber : Stasiun Meteorologi dan Geofisika Banda Aceh tahun 2004
Dapat ditambahkan bahwa sejak tanggal 26 Desember 2004 (pasca gempa dan sunami dahsyat yang terjadi di NAD) sampai sekarang tanggal 8 Maret 2006 ( selama 14 bulan) ternyata kuantitas gempa itu meningkat tajam lagi, yaitu tercatat telah terjadi gempa sebanyak 10.709 kali. Secara kuantitas hal ini meningkat kira-kira 6 kali lipat jumlah gempa yang terjadi pada tahun 2003 seperti terlihat pada penjelasan di atas. Peningkatan ini dimungkan sebagai rentetan dari gempa bumi yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 tersebut.

2. Keadaan Penduduk
Berdasarkan data Sensus Penduduk Aceh & Nias (SPAN) pasca gempa bumi dan sunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 yang dilaksanakan oleh Deputi Bidang Statistik Sosial (BPS) bekerjasama dengan Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan BAPPENAS, serta Lembaga Donor Internasional UNFPA pada tanggal 26 Desember 2005 dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk NAD secara keseluruhan setelah peristiwa gempa bumi dan sunami tersebut adalah 4.031.589,- orang, dengan klasifikasi 3.970.853,- orang yang memiliki tempat tinggal atau tersedia tempat tinggalnya, dan 60.736,- orang yang tidak tersedia tempat tinggalnya. Inilah data terakhir tentang jumlah penduduk NAD yang dapat dipedomani sampai saat ini.
Dari jumlah penduduk seperti dikemukakan di atas, secara keseluruhan tersebar pada 21 Kabupaten/ Kota yang ada di NAD sebagai berikut;
SEBARAN PENDUDUK BERDASARKAN
KABUPATEN/ KOTA DAN JENIS KELAMIN

N
O KABUPATEN/
KOTA LAKI-
LAKI PEREM-
PUAN JUMLAH PER-
SEN
1 Simeulue 40.519,- 37.870,- 78.389,- 01,9
2 Aceh Singkil 75.177 73.100,- 148.277,- 03,7
3 Aceh Selatan 93.684 97.855,- 191.539,- 04,8
4 Aceh Tenggara 84.143,- 84.910,- 169.053,- 04,2
5 Aceh Timur 150.785,- 153.858,- 304.643,- 07,6
6 Aceh Tengah 81.016,- 79.533,- 160.549,- 04,0
7 Aceh Barat 76.932,- 73.518,- 150.450,- 03,7
8 Aceh Besar 152.377,- 144.164,- 296.541,- 07,4
9 Pidie 228.404,- 245.955,- 474.359,- 11,8
10 Bireuen 169.767,- 182.068,- 351.835,- 08,7
11 Aceh Utara 241.942,- 251.728,- 493.670,- 12,2
12 Aceh Barat Daya 58.809,- 58.867,- 117.676,- 02,9
13 Gayo Lues 35.488,- 36.557,- 72.045,- 01,8
14 Aceh Tamiang 118.581,- 116.733,- 235.314,- 05,8
15 Nagan raya 61.609 62.134,- 123.743,- 03,1
16 Aceh Jaya 31.495,- 29.145,- 60.640,- 01,5
17 Bener Meriah 53.166,- 52.980,- 106.146,- 02,6
18 Banda Aceh 93.074,- 83.829,- 176.903,- 04,4
19 Sabang 14.663,- 13.934,- 28.597,- 00,7
20 Langsa 68.518,- 69.068,- 137.586,- 03,4
21 Lhokseumawe 75.614,- 78.020,- 153.634,- 03,8
T O T A L 2.005.763,- 2.025.826,- 4.031.589,- 100,0

Sumber : Hasil sensus penduduk pasca sunami tanggal 26 Desember 2005 SPAN (Sensus Penduduk Aceh dan Nias) oleh Bappenas, BPS, dan UNFPA (serta CIDA, AusAID, dan Nzaid yang dilakukan pada 15 Agustus – 15 September 2005.

3. Kehidupan Beragama
Kehidupan beragama di NAD cukup kondusif. Secara umum konsep trilogi kerukunan umat beragama berjalan dengan baik. Perseteruan masyarakat atas dasar perbedaan agama hampir tidak pernah terjadi, demikian juga dengan perseteruan atas dasar internal umat beragama tersebut, hanya saja perseteruan masyarakat beragama, terutama Islam dengan Pemerintah sedikit mengalami kendala, dalam hal ini dicontohkan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yaitu adanya segelintir masyarakat yang mengatasnamakan demi terselenggaranya penegakan syari`at Islam yang kaffah harus memisahkan diri dari NKRI, lalu memicu terjadinya disharmonisasi hubungannya dengan Pemerintah.
Berikut ini dikemukakan data penduduk NAD berdasarkan kelompok agama sebagai berikut;
JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN AGAMA
DI KABUPATEN KOTA SE NAD TAHUN 2004

N KABUPATEN/ A G A M A JUMLAH
O KOTA Islam K.Prot Katol. Hindu Budha
1 Kota B. Aceh 247.976 1.319 1.748 34 3.094 254.171
2 Kota Sabang 24.285 486 184 - 307 25.262
3 Kab. Aceh Besar 277.996 224 194 42 64 278.524
4 Kab. Pidie 519.181 16 17 - 203 519.417
5 Kab. Aceh Utara 487.503 42 6 14 526 488.091
6 Kab. Aceh Timur 334.133 13 - - 33 334.179
7 Kab. A. Tengah 149.478 191 - 11 244 149.924
8 Kab. A. Tenggara 138.158 28.105 1.030 - - 167.293
9 Kab. Aceh Barat 173.899 94 71 592 6 174.662
10 Kab. Aceh Selatan 107.065 39 - 76 - 107.180
11 Kab. Simeulu 70.689 47 6 4 4 70.750
12 Kab. Aceh Singkil 133.971 5.614 3 - 3 139.591
13 Kab. Bireuen 376.952 189 - 32 237 377.410
14 Kota Langsa 117.477 165 8 13 105 117.768
15 Kota Lhoksemawe 162.025 475 250 42 742 163.534
16 Kab.A. Barat Daya 272.615 1 2 - 94 272.712
17 Kab. Gayo Lues 76.818 - - - - 76.818
18 Kab.A. Tamiang 250.975 482 285 67 986 252.777
19 Kab. Aceh Jaya - - - - - -
20 Kab. Nagan Raya 143.964 11 2 2 16 143.995
21 Kab. Bener Meriah 117.749 8 - - - 117.757
J U M L A H 4.182.891 37.521 3.810 929 6.664 4.231.815
PERSENTASE 98,84 % 0,89 % 0,09 % 0,02 % 0,16 % 100 %

Sumber : Data kependudukan NAD berdasarkan agama Kantor Wilayah Departemen Agama NAD tahun 2005

Data tersebut memperlihatkan bahwa penduduk NAD pada umumnya beragama Islam, yaitu sebesar 98,84 %, sedang non muslim secara keseluruhan adalah penduduk minoritas yang sangat kecil jumlahnya, yaitu 1, 16 %, dan ini diklasifikasi kepada 4 (empat) penganut agama, yaitu Kristen Protestan sebanyak 0,89 %, Katolok 0,09 %, Hindu 0,02 %, dan Budha sebanyak 0,16 %.
Meskipun di NAD dijumpai non muslim sebesar 1,16 % namun tidak dijumpai anggota DPRD yang tidak beragama Islam. Semua DPRD TK.I Propinsi, demikian juga dengan TK.II Kabupaten Kota adalah beragama Islam. Terlepas dari aspek keterwakilan mereka untuk menampung aspirasi yang mereka emban, mungkin karena sedikitnya jumlah mereka ini maka untuk memenangkan anggota DPR yang non muslim pada saat pemilu tidak dapat diupayakan.
Berikut ini dikemukakan data tentang rumah ibadah, dan kerusakan yang terjadi akibat gempa bumi dan sunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, sebagai berikut;
TEMPAT IBADAH DAN KERUSAKAN BERAT DAN RINGAN
AKIBAT GEMPA DAN SUNAMI 26 DESEMBER 2004
SERTA PRAKIRAAN KERUGIAN

N
O TEMPAT IBADAH BUAH PERSEN
RUSAK BERAT/
RINGAN PERSEN

JLH Keru-
gian Dalam Juta Rp
1 Mesjid/Mushalla
/Meunasah 11.056 97,3 % 1.059 9,6 % 423.600,-
2 Gereja 177 1,6 % 8 4,5 % 3.200,-
3 Wihara dan Kuil 123 1,1 % 21 1,6 %
800,-
J U M L A H 11.365 100 % 1069 15,5 % 427.600,-

Sumber : Hasil sensus penduduk pasca sunami tanggal 26 Desember 2005 SPAN (Sensus Penduduk Aceh dan Nias) oleh Bappenas, BPS, dan UNFPA (serta CIDA, AusAID, dan Nzaid yang dilakukan pada 15 Agustus – 15 September 2005.

Hukum Pidana Islam di Nangroe Aceh Darussalam
Sampai sekarang ini belum ada qanun khusus yang mengatur tentang hukum pidana Islam di NAD, tetapi hukum pidana Islam itu masih tersebar pada qanun-qanun yang ada. Setelah diteliti ternyata baru ada 5 qanun yang memuat hukum pidana Islam tersebut sebagai berikut;
4. Qanun Nomor 11 Tahun 2002, tentang Pelaksanaan syari`at Islam bidang aqidah, ibadah, dan syi`ar Islam,
5. Qanun Nomor 12 Tahun 2003, tentang Minuman khamar dan sejenisnya,
6. Qanun Nomor 13 Tahun 2003, tentang Maisir (perjudian),
7. Qanun Nomor 14 Tahun 2003, tentang Khalwat (Mesum),
8. Qanun Nomor 7 Tahun 2004, tentang Pengelolaan zakat.

Keseluruhan hukum pidana Islam yang dimuat pada kelima macam qanun tersebut di atas dapat dikelompokkan kepada dua macam, yaitu;
a. Hudud (Hukum pidana yang sudah jelas bentuk dan ukurannya)
Mengingat hudud ini telah jelas hukumannya, baik bentuk maupun ukurannya maka maka hakim tidak punya kebebasan lagi untuk menemukan hukum lain, dalam kesempatan ini hakim hanya memiliki kesempatan berijtihad untuk menetapkan “apakah tindak pidana itu benar telah dilakukan, atau pun tidak,” bila ini telah jelas dilakukan maka hakim tinggal mengambil hukuman yang telah tersedia untuk itu.
Sejalan dengan ketentuan hudud seperti dikemukakan di atas, ternyata Daerah NAD baru menetapkan satu kasus hudud saja, yaitu tentang “mengkonsumsi khamar” (minuman keras) dan sejenisnya, dengan sanksi hukuman cambuk sebanyak 40 kali. Hal ini bukanlah atas dasar hasil pemikiran Pemerintah NAD dalam menetapkan hukumannya berupa hukum cambuk sebanyak empat puluh kali, tetapi berupa ketentuan Tuhan yang harus diikuti, karena penentuan hukuman seperti ini telah tegas tercantum di dalam nas syari`at. Dengan demikian Pemerintah NAD tinggal mengambil, menetapkan, dan melaksanakannya saja.
Hal ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik RA., Bahwa seseorang yang telah meminum khamar dibawa ke depan Rasul SAW., maka Rasul SAW. Mencambuknya dengan dua buah cambuk sebanyak empat puluh kali. Hal seperti ini diikuti oleh Abu Bakar …
Hadis serupa juga diriwayatkan oleh Muslim, dari Ali tentang kisah Al-Walid ibn `Uqbah, bahwa Usman ibn `Affan telah menyuruh Ali untuk menerapkan hukum cambuk terhadap Walid ibn `Uqbah karena dia meminum khamar, untuk hal ini Ali meminta Abdullah ibn Ja`far untuk melakukan penyambukan, lalu dia melakukannya, maka pada saat sudah genap empat puluh kali cambukan dia pun berkata, sudah cukup, dan menambah ucapannya lagi; Rasul melakukan cambukan pada orang meminum khamar sebanyak empat puluh kali, dan Abu Bakar juga melaksanakan demikian, …
Direncanakan bahwa kasus kedua menyangkut hudud ini adalah tindak pidana pencurian dengan sanksi hukuman potong tangan. Sampai sekarang, hal ini belum diterapkan, karena untuk tindak pidana pencurian ini belum ada aturannya. Diperkirakan dalam masa dekat (tahun 2006) ini Perda/ Qanun tentang pencurian akan lahir, sekarang masih bersifat Ranperda, naskah akademiknya telah selesai, namun belum sampai ke tangan MPU dan Dinas Syari`at, dan jelas belum disidangkan oleh DPRD NAD. Dengan demikian kasus pencurian ini belum termasuk kasus yang sudah diterapkan sekarang ini di NAD.

b. Ta`zir (Hukuman yang diberi kebebasan bagi hakim untuk menentukannya)
Mengingat adanya kebebasan hakim untuk menentukan hukuman dalam kasus ta`zir ini maka kesempatan hakim berijtihad untuk menentukan apa hukuman yang akan ditetapkan bagi pelakunya, dan bagaimana cara pelaksanaannya sangat besar. Dengan demikian, kejelian hakim untuk menentukan hukum yang akurat dalam hal ini sangat diperlukan.
Sejalan dengan hal ini, DPRD NAD telah mencoba mengkonkritkan hukum ta`zir pada kelima kasus seperti dikemukakan di atas sehingga pada saat hakim hendak memutuskan perkara, hakim tersebut telah memiliki aturan yang jelas untuk diberlakukan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bahwa hukum ta`zir tersebut telah dijabarkan ke dalam lima bentuk, sebagai berikut;
1). Hukum Cambuk;
Contoh, Hukuman cambuk maksimal 12 kali, minimal 6 kali bagi pelaku judi (maisir)
2). Hukum Denda;
Contoh, Hukuman denda maksimal membayar Rp 35.000.000,- minimal Rp 15.000.000,- bagi orang yang a). Menyelenggarakan dan atau memberikan fasilitas kepada orang yang akan melakukan perjudian (maisir)., b). Menjadi pelindung perbuatan perjudian., c). Memberi izin usaha penyelenggaraan perjudian.
3). Hukum Penjara;
Contoh, Hukuman kurungan maksimal 6 bulan, minimal 2 bulan bagi yang memberikan fasilitas dan atau melindungi orang melakukan perbuatan khalwat (mesum).
4). Hukuman Administratif;
Contoh, Dicabut izin usahanya bagi perusahaan pengangkutan yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk shalat fardhu.
5). Hukuman Kumulasi dari hal tersebut di atas;
Contoh, Menggabung hukuman cambuk dengan hukuman denda
6). Hukuman Berpilih dari hal tersebut di atas;
Contoh, Memilih hukuman denda dengan meninggalkan hukuman cambuk.

Dualisme Hukum Pidana di NAD
Terjadinya kekhawatiran dualisme hukum pidana di NAD adalah antara hukum pidana Indonesia secara umum di satu sisi, dan hukum pidana NAD yang diatur lewat qanun-qanun sebagai implikasi dari kesempatan penerapan syari`at Islam di sisi yang lain. NAD sebagai sebuah propinsi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wawasan kebangsaan dan wawasan bhinneka tunggal ika yang sama dengan Daerah lain di Nusantara, dia harus berada dalam bingkai falsafah dan konstitusi Negara Pancasila dan UUD 1945, jelas tidak ada tawar menawar akan hal ini karena terkait dengan keutuhan NKRI itu sendiri. Dengan tidak mengabaikan akan hal itu, ternyata realitas telah menampakkan nuansa baru dalam memaknai dan menjabarkan arti dari NKRI itu sendiri khusus untuk NAD, jika seluruh Daerah di Indonesia telah diberikan status Otonomi Khusus, maka NAD telah diberikan Otonomi yang seluas-luasnya untuk menjalankan syari`at Islam. Dengan hal ini terlihat adanya kesempatan yang besar bagi NAD untuk mempola pembangunan NAD ke arah yang lebih islami dibanding dengan Daerah lain di Nusantara.
Adanya peran yang besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi membangun NAD menjadi sebuah propinsi yang berbeda dengan Daerah lain di Nusantara jelas melahirkan eksklusifisme NAD dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia. Eksklusifinsme ini sangat rentan dengan asas equality before the law (mempersamakan semua orang di bawah hukum), dan sangat subur dengan pemberian hak-hak istimewa di luar yang berlaku secara umum. Dengan kenyataan seperti ini otomatis akan melahirkan adanya dualisme hukum yang berwawasan Nasional dan bhinneka Tunggal Ika di satu sisi, serta hukum yang berwawasan lokal dan ke-Acehan pada sisi yang lain.
Dengan mengkaji latarbelakang serta sumber kedua hukum ini tentu pikiran kita akan dapat mengklasifikasi bahwa di sana ada dua macam hukum yang berbeda, dan tidak saling melingkupi, karenanya dengan menaati salah satunya kita tidak dapat dinyatakan telah melaksanakan keduanya, dan dengan melaksanakan keduanya di sana ada kemuskilan karena akan mengamalkan dua hal yang berbeda oleh seorang subjek hukum pada satu kesempatan. Dengan mempertajam pandangan ini akan lebih mengkontraskan kehadiran dualisme hukum seperti dikemukakan di NAD sekarang ini. Untuk hal ini akan diberikan penjelasan lebih rinci sebagai berikut;
Di satu sisi terpahami adanya dualisme hukum pidana di NAD, yaitu Hukum Pidana Indonesia sebagai sesuatu yang bersifat umum seperti yang tertuang di dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) karena NAD adalah bagian integral dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Kemudian, Qonun (Perda) yang berdasarkan syari`at Islam dan dibuat oleh masyarakat NAD sendiri sebagai sesuatu ketentuan yang lebih khusus karena NAD telah diberi otonomi yang seluas-luasnya untuk menerapkan syari`at Islam berdasar UU No.18 Tahun 2001. Penempatan kedua ini sebagai sesuatu yang berhadap-hadapan tentu akan mempertajam pemaknaan terhadap dualisme hukum pidana di NAD tersebut, bahkan dapat mengarah kepada kaburnya asas kepastian hukum, dan keadilan hukum. Jelas bahwa dualisme hukum seperti dipersepsikan ini akan menimbulkan kajian tersendiri dalam rangka mencari titik temu kebersamaan seluruh komponen bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk menepis berbagai kekhawatiran dampak negatif yang muncul akibat penerapan syari`at Islam bagi NAD tersebut, terutama adanya dualisme hukum pidana yang dapat berakibat terhadap rontoknya asas kepastian hukum, dan asas equality before the law, dan yang lainnya maka disajikan uraian berikut ini.
Sejak awal perbincangan UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nangroe Aceh Darussalam telah disadari betul tentang akan munculnya kajian dualisme hukum di NAD ini. Untuk tidak terjerembabnya NAD dalam ketidakpastian yang ditimbulkan akibat dari dualisme hukum seperti dikemukakan maka para pemerakarsa hukum kita telah mengantisipasinya dengan berbagai hal, sebagai berikut;
1. Penegasan hal-hal yang masih tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
a. Bidang pertahanan negara
Dalam Penjelasan Umum UU No.18 Tahun 2004 dinyatakan; … Kewenangan yang berkaitan dengan bidang pertahanan negara merupakan kewenangan Pemerintah. Dalam hal pelaksanaan kebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang tidak bersifat rahasia Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur Propinsi Nangroe Aceh Darussalam.”
Mengingat pertahanan negara Republik Indonesia adalah menjadi kewenangan Pemerintah pusat, maka masyarakat NAD tidak boleh melahirkan qanun yang berkenaan dengan hal ini, apalagi qanun yang sifatnya berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat, pengabaian terhadap hal ini dipahami sebagai melampaui kewenangan, dan tidak dapat dilaksanakan, bahkan tidak dapat diberlakukan. Selanjutnya mengenai pengaturan tata ruang pertahanan di wilayah NAD yang tidak bersifat rahasia maka masyarakat NAD memiliki sedikit hak untuk berbicara dengan Pemerintah, karenanya masyarakat NAD bisa merencanakan sesuatu untuk hal ini. Dengan demikian menyangkut bidang pertahanan ini didominasi oleh Pemerintah Pusat.

b. Bidang keuangan
Bidang keuangan NAD diatur secara berimbang. Di samping mengacu kepada UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah, juga diatur di dalam pasal 4 – 7 UU No.18 Tahun 2001. Secara tekhnis, sampai sekarang, penetuan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ini belum dipertegas secara tuntas, meskipun UUPA (Undang Undang Pemerintahan Aceh) telah lahir dan mengamanatkan hal itu, namun masih ada saja orang yang berkeinginan mempertanyakannya, sehingga hal ini dipahami belum dapat diselesaikan secara tuntas dalam koridor asas keadilan dan keseimbangan yang transparan.

2. Qanun dapat mengenyampingkan peraturan yang berlaku umum
Qanun (Perda) yang digali dan lahir dari masyarakat NAD sebagai peraturan lokal yang bersifat khusus untuk masyarakat NAD yang dipahami sebagian besar memiliki perbedaan dengan ketentuan yang berlaku secara umum di Nusantara mendapat tempat istimewa untuk diberlakukan bagi umat Islam di NAD. Untuk persoalan masyarakat Aceh yang telah diatur oleh qanun maka qanunlah yang akan diberlakukan. Hal ini sejalan dengan Penjelasan Umum Undang Undang No. 18 Tahun 2001 tersebut, dalam salah satu alineanya dinyatakan; “Qanun Propinsi NAD adalah Peraturan Daerah Propinsi NAD yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis, dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materil terhadap Qonun.” Dengan penjelasan ini maka dipahami bahwa qanun sebagai suatu tatanan Peraturan Daerah akan dapat mengenyampingkan KUHP yang bersifat umum.
Terkait dengan hal ini, Jimly Asshiddiqie mengatakan, kita tetap mempedomani prinsip hukum lex superiore derogat lex infiriore (secara hirarkis peraturan perundang undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi) sepanjang kaitannya dengan bagian-bagian hukum dalam sistem Negara yang masih tersentralisasi, karena adanya koridor hukum yang tegas yang berlaku secara Nasional, misalnya bidang pertahanan kemanan, dan aspek tertentu dari keuangan seperti dikemukakan. Selain dari hal tersebut, maka Daerah ditentukan sebagai ujung tombak Pembangunan Nasional, dan Daerah diberi keleluasaan untuk mengatur dirinya sendiri dalam porsi yang lebih besar, termasuk dalam melahirkan Perda/ Qonun sesuai dengan kekhasan dan keistimewaan daerah tersebut, karenanya sangat tepat memberlakukan prinsip hukum lex specialis derogat lex generalis (peraturan khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum), Daerah dapat saja memberlakukan Perda yang dibuatnya sendiri sepanjang dalam koridor kewenangan yang diberikan, meskipun dengan mengesampingkan hukum yang bersifat umum dengan status hirarkisnya yang lebih tuinggi. Dengan demikian, NAD misalnya boleh saja memberlakukan hukum cambuk dalam rangka mengamalkan qanun, meskipun mengabaikan hukum penjara dalam rangka mengenyampingkan KUH Pidana. Hal ini bukan dalam rangka mengadakan perlawanan hukum tetapi mengamalkan pesan otonomi daerah yang diamanatkan oleh UU No.18 Tahun 2001.
Sekarang ini memang ada suara anak bangsa yang mencoba memberikan pendapat yang cukup tajam, dan mendasar meskipun sifatnya kecil, mereka memahami tentang lahirnya Perda-perda yang berisi syari`at (dalam hal ini dipahami NAD sebagai Daerah yang memperoleh kesempatan istimewa) telah mengaburkan tujuan pendirian Bangsa ini sebagai bangsa yang nasionalis. Sejak semula kita telah menghindari exklusivisme agama (terutama Islam); dalam Dasar negara, dalam Piagam Jakarta, dalam sidang konstituante yang berakhir dengan Dekrit 5 Juli 1959, dalam sikap ORBA tentang pengasastunggalam Pancasila bagi seluruh kegiatan sosial dan politik di Indonesia, bahkan dalam amandemen UUD 1945 pada masa reformasi. Justeru sekarang ini penerapan syari`at itu telah lahir secara terselubung di berbagai daerah lewat Perda-perda sebagai dampak dari otonomi Daerah yang diberikan sekarang ini. Pandangan ini jelas menaruh kecurigaan yang berlebihan tentang adanya penafsiran yang terlalu jauh terhadap Dasar negara yang nasionalis itu, sehingga kelompok tertentu dari komponen bangsa ini meraup keistimewaan.

3. Hukum Islam hanya diberlakukan bagi masyarakat muslim saja
Dengan memperhatikan kandungan keseluruhan qanun yang ada di NAD itu maka qanun-qanun tersebut ada dua macam, yaitu qanun sayari`at, dan qanun non syari`at (yang berkenaan dengan aspek keduniaan semata). Khusus menyangkut qanun syari`at hanya diberlakukan bagi umat Islam saja, sedang untuk qanun yang non syari`at akan berlaku secara umum untuk masyarakat NAD secara keseluruhan. Polarisasi ini tetap dalam kerangka mempertahankan asas kebebasan menjalankan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing oleh masyarakat NAD.
Memperhatikan uraian di atas terlihat bahwa pemberlakuan hukum pidana Isalam yang ada di NAD itu menganut asas personalitas keislaman. Artinya, qanun-qanun sayari`at seperti dikemukakan di atas hanya berlaku bagi umat Islam saja, sedang non muslim secara umum (Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, bahkan penganut aliran Kepercayaan) tidak termasuk di dalamnya, apalagi dipaksa untuk melaksanakannya, jelas tidak mungkin sama sekali. Dengan demikian, bagi penduduk non muslim di NAD tidak ada kesulitan untuk tetap tingal di NAD, karena mereka tetap tunduk kepada KUH Pidana sebagai ketentuan hukum yang berlaku secara Nasional, di samping tetap menaati qanun yang bersifat non sayari`at.
Kesimpulan seperti ini secara jelas dapat dipahami dari:
a). Pasal 25, ayat (3) Undang Undang No.18 Tahun 2001 mengatakan;
“Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.”
b). Perda No.5 Tahun 2000, pada pasal 2 ayat (2) berbunyi;
“Keberadaan agama lain di luar agama Islam tetap diakui di daerah ini, dan pemeluknya dapat menjalankan ajaran agamanya masing-masing.”
Sejalan dengan ini, Al Yasa` Abubakar mengatakan bahwa penekanan utama pemberlakuan syari`at Islam di NAD adalah dengan memperhatikan asas personalitas keislaman. Pemaknaan memberlakukan asas personalitas keislaman di sini adalah, syari`at Islam itu hanya diberlakukan bagi masyarakat dengan memperhatikan agama pelaku tindak pidana itu sendiri harus benar-benar beragama Islam, lebih konkrit untuk hal ini bisa dilihat dari Kartu Tanda Penduduk (KTP) nya, pengamalannya, dan pengakuannya. Ketegasan ini membuat pengetahuan tentang apa agama pelaku tindak pidana itu di NAD menjadi sangat penting dalam hal penentuan penundukan hukum mereka.
Muslim Ibrahim mengatakan bahwa hukum Islam yang diterapkan di NAD adalah murni berdasarkan syari`at Islam, karenanya hanya diberlakukan bagi umat Islam saja, sedang non muslim tidak termasuk di dalamnya, soal urusan agama mereka biarlah mereka yang mengaturnya sendiri. Dengan demikian qanun sebagai bagian dari hukum Islam yang berlaku di NAD hanya diberlakukan bagi umat Islam semata.
Sekedar mengapresaiasi hal ini, terlihat bagi kita bahwa pemberlakuan hukum Islam di NAD yang ada sekarang ini jelas masih berada dalam koridor trilogi kerukunan umat beragama, yaitu kerukunan antar umat beragama, kerukunan intern umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dengan Pemerintah, juga sejalan dengan pedoman dasar dalam beragama bagi bangsa Indonesaia yang diatur pada pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan menjalankan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.
Di samping mengacu kepada asas personalitas keislaman seperti telah dikemukakan, juga berpedoman kepada UU No.18 Tahun 2001, Qanun No.5 Tahun 2000, dan pernyataan para pakar, hal ini juga telah dipahami benar oleh non muslim. Misalnya Frietz R.Tambunan (Pakar Kristen yang kini menjabat Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masayarakat (LP3M), Kepala Pusat Penelitian Humaniora, dan Kepaka Pusat Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Katolik St. Thomas Medan.) mengatakan; Kepala Dinas Syariat Islam NAD Al Yasa` Abubakar memang sudah menegaskan bahwa penerapan syari`at Islam hanya berlaku bagi umat Islam, sehingga mereka yang non muslim tidak perlu merasa takut berlebihan mendengar syariat Islam. Beliau juga menjamin bahwa syari`at Islam mengatur dan menjamin hak-hak non muslim di NAD, jika hal ini memang secara nyata bisa berjalan dengan baik di NAD, pastilah persepsi yang salah di berbagai pihak tentang pelaksanaan syari`at Islam sebagai sauatu alternatif sistem tata kenegaraan yang efektif untuk mencapai kesejahteraan umum, akan terkoreksi.
Sebuah pertanyaan menarik yang dikemukakan oleh Al Yasa` Abubakar berkaitan dengan penentuan penetapan hukum yang dihubungkan dengan kajian asas personalitas keislaman dan territorial tersebut, dikatakan; Seandainya ada masyarakat non muslim NAD yang secara suka rela tunduk dan patuh terhadap qanun di satu sisi, namun dengan tetap berpegang kepada keyakinan agamanya pada sisi yang lain, hal seperti ini pernah terjadi pada masa kolonialis Belanda berkuasa di Indonesia, di mana bangsa Indonesia diberi kebebasan untuk menundukkan diri kepada hukum Barat (misalnya BW) yang mereka berlakukan. Al Yasa` Abubakar dalam tulisannya memiliki kecenderungan bahwa; 1). Jika hal itu merupakan bagian dari ajaran agama mereka, maka mereka tidak layak untuk tunduk dan patuh terhadap qanun, tetapi cukup dengan apa yang sudah diatur di dalam agama mereka itu saja., 2). Jika hal itu tidak diatur di dalam agama mereka, dan apa yang ada di dalam qanun itu adalah sesuatu hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama mereka, karenanya bila dengan mengamalkan hal itu bukan dalam rangka melanggar agamanya, maka jadilah hal ini sebagai masalah yang seyogianya mendapat kajian dan diskusi terlebih dahulu untuk dapat dinyatakan boleh atau tidak. Khusus untuk kemungkinan yang kedua ini belum terjawab dengan tuntas.
Dalam bentuk realitas, peristiwa seperti dikemukakan di atas telah terjadi di NAD dan telah disikapi dengan tegas, dengan kesimpulan bahwa bagi mereka yang nota bene non muslim itu tidak dapat diberlakukan hukum Islam seperti apa yang ada di dalam qanun. Kasus ini terjadi terhadap 6 (enam) orang supir truk yang melakukan tindak pidana judi di Banda Aceh, 2 (dua) orang dari mereka muslim, sedang 4 (empat) orang lainnya non muslim. Setelah mereka tertangkap oleh pihak kepolisian, 4 (empat) orang dari mereka yang non muslim itu memohon kepada aparat penegak hukum supaya mereka disidangkan di Mahkamah Syari`ah dengan memberlakukan hukum Islam, permohonan mereka ini direspon oleh pihak kepolisian dan kejaksaan dengan cara mengarahkan penyelesaian perkara mereka ke Mahkamah Syari`ah, namun begitu sidang pertama dibuka untuk perkara mereka hakim majelis Mahkamah Syari`ah Banda Aceh mengatakan bahwa penyelesaian perkara 2 (dua) orang yang muslim dari mereka benar menjadi wewenang Mahkamah Syari`ah Banda Aceh, dan sidang penyelesaian perkara mereka dapat dilanjutkan, sedang untuk 4 (empat) orang non muslim lainnya dinyatakan tidak menjadi wewenang Mahkamah Syari`ah Banda Aceh, tetapi Pengadilan Negeri Banda Aceh, karenanya mereka berempat harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh, dengan demikian perkara mereka harus dilimpahkan ke sana. Ini memperlihatkan kepada kita bahwa meskipun mereka yang Islam dan non muslim secara bersama-sama melakukan satu tindak pidana yang diatur oleh qanun (hukum Islam), namun untuk mereka yang non muslim tetap tidak dapat diberlakukan hukum Islam, seperti halnya bagi muslim pelaku tindak pidana lainnya, demikian juga halnya, mereka yang berkeinginan untuk memperoleh keadilan lewat qanun (syari`at Islam), jika mereka ternyata non muslim maka sama sekali tidak dapat dikabulkan. Ketegasan ini sekaligus dipahami bagian dari penerapan asas persoanalitas keislaman, dan territorial tersebut.
Demikian tegasnya aturan hukum secara normatif ini ditampilkan secara tertulis, dan dipraktekkan, namun berbeda dengan keinginan masyarakat secara umum. Secara teoritis, dan praktis dinyatakan bahwa hukum Islam hanya diberlakukan bagi umat Islam saja, sedang masyarakat pada umumnya menginginkan lain, yaitu memberlakukan hukum Islam itu bukan hanya untuk umat Islam tetapi termasuk bagi masyarakat Aceh secara umum, baik muslim maupun non muslim. Keinginan ini tentu mengenyampingkan asas keislaman, dan mengedepankan asas territorial semata.
Realitas ini dapat dilihat dari jawaban responden sebagai berikut;
PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM HANYA BAGI UMAT ISLAM
YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI NAD SAJA


Pertanyaan Sangat
Setuju
Setuju Biasa
Saja Tidak
Setuju Sangat
Tidak
Setuju
Jlh.
Bagaimana pendapat saudara jika hukum Islam hanya berlaku bagi muslim yang melakukan tindak pidana di Aceh saja.
11
25
20
80
24
160
Persentase 6,9 15,6 12,5 50 15 100

Ternyata pada umumnya masyarakat Aceh tidak menyetujui pemberlakuan hukum Islam dibatasi hanya bagi masyarakat muslim Aceh, dan masyarakat muslim selain Aceh yang melakukan tindak pidana di Aceh saja. Terbukti dari penolakan masyarakat sebesar 65 % yang tidak menyetujui hal itu, dengan perincian penolakan secara keras sebesar 15 %, dan penolakan biasa sebesar 50 %. Sebaliknya, hanya sebagian kecil saja masyarakat yang melakukan persetujuan, yaitu sebesar 22,5 %, yang terdiri dari sangat setuju 6,9 %, dan setuju biasa 15,6 %. Selebihnya, yaitu 12,5 % bersikap apatis.

Untuk pemberlakuan hukum Islam bagi non muslim terlihat pada tabel berikut;

PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM
TERMASUK BAGI NON MUSLIM


Pertanyaan Sangat
Setuju
Setuju Biasa
Saja Tidak
Setuju Sangat
Tidak
Setuju
Jlh.
Hukum Islam tidak berlaku bagi non muslim 18 47 24 51 20 160
Persentase 11,2 29,4 15 31,9 12,5 100

Data ini memperlihatkan bahwa penolakan masyarakat lebih besar dari pada yang mendukungnya, jika hukum Islam tidak diberlakukan bagi non muslim. Terdiri dari 44,4 % masyarakat yang menolak tidak memberlakukan hukum Islam bagi non muslim, dengan perincian menolak secara keras sebanyak 12,5 %, dan dan menolak biasa sebanyak 31,9 %. Sebaliknya, yang menerima tidak berlakunya qanun (hukum Islam) bagi non muslim sebesar 40,6 %, dengan perincian sangat setuju sebesar 11,2 %, dan setuju biasa sebesar 29,4 %. Selebihnya, sebesar 15 % bersikap apatis (biasa-biasa saja).

4. Pemberlakuan asas territorial
Suatu kajian yang mendasar dalam menetapkan peristiwa hukum adalah menyangkut di mana hal itu dilakukan. Pertanyaan ini berkaitan dengan lokasi atau tempat peristiwa hukum terjadi, hal ini sangat penting sejalan dengan adanya perbedaan hukum masing-masing tempat. Indonesia sebagai sauatu NKRI saja paling tidak sudah terpola kepada tiga macam, yaitu; 1). NAD sebagai daerah yang telah diberi keleluasaan yang besar untuk menerapkan syari`at Islam, 2). Daerah-daerah di Nusantara sebagai pemegang hak otonom memiliki kebebasan untuk menentukan nasib sendiri dalam aspek-aspek khusus ayang telah diberi kebebasan untuk itu, 3). Hukum yang berlaku yang berlaku umum untuk seluruh daerah Indonesaia. Adanya perbedaan hukum yang berlaku berangkat dari pendekatan di mana peristiwa hukum ini dilakukan disebut dengan asas territorial.
Di samping memperhatikan objek pelaku tindak pidana itu di satu sisi juga diperhatikan tempat di mana tindak pidana itu dilakukan, maka penentuan daerah NAD sebagai teritori yang dipedomani untuk dapat dinyatakan berlakunya qanun adalah merupakan kemutlakan. Artinya, hanya tindak pidana yang dilakukan di NAD sajalah yang menjadi perbincangan qanun-qanun itu, asalkan tempatnya di NAD meskipun orangnya bukan masyarakat NAD tidak menjadi persoalan lagi, yang penting mereka sedang berada di NAD. Dengan mencermati hal ini terlihat bahwa asas territorial ini diberlakukan di NAD.
Dengan pemberlakuan asas personalitas keislaman, dan asas territorial seperti dikemukakan di atas maka ada empat macam pedoman, sebagai berikut;
a). Untuk masyarakat muslim NAD yang melakukan tindak pidana di NAD secara otomatis hukum Islam (qanun) diberlakukan bagi mereka.
b). Untuk masayarakat muslim lainnya (masyarakat muslim bukan Aceh) yang melakukan tindak pidana di NAD tetap diberlakukan hukum Islam.
c). Untuk masyarakat NAD non muslim yang melakukan tindak pidana di NAD atau pun di luar NAD tidak diberlakukan hukum Isalam sama sekali.
d). Untuk masyarakat muslim NAD yang melakukan tindak pidana di luar NAD juga tidak diberlakukan hukum Islam.

5. Putusan Kasasi dan Peninjauan kembali tidak dalam rangka menentang pemberlakuan hukum Islam
Meskipun Mahkamah Agung memiliki hak menguji dan membatalkan keputusan Pengadilan di bawahnya, dan Mahkamah Agung hanya memiliki acuan yang nasionalis, tetapi dia harus mendukung penerapan syari`at Islam di NAD. Mahkamah Agung akan dipahami keliru bila lewat kasasi dan Peninjauan kembali, dia berani membatalkan penerapan hukum Islam di NAD dengan mencari alternatif hukum lain. Logika yang dikembangkan adalah, sikap mengukuhkan putusan Mahkamah Syari`ah, dan Mahkamah Syari`ah Pripinsi di NAD adalah yang paling bijak, berarti Mahkamah Agung telah mempedomani pesan yang diemban oleh UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Propinsi NAD. Dengan demikian Mahkamah Agung harus memutus dalam sidang Kasasi atau Peninjauan Kembali untuk perkara Hukum Pidana Islam dengan berpedoman kepada qanun yang sudah dibuat oleh DPRD NAD.
Pemahaman seperti di atas dikemukakan sejalan dengan Penjelasan Umum UU No.18 Tahun 2001 yang berbunyi;
“Hal mendasar dari Undang Undang ini adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuh kembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi NAD dalam memajukan penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi NAD dan mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.”
Lebih tegas lagi hal ini dijumpai dari Penjelasan Umum Undang Undang tersebut pada alinea berikutnya. Di sana dinyatakan; “Qanun Propinsi NAD adalah Peraturan Daerah Propinsi NAD yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis, dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materil terhadap Qonun.” Ini mengisyaratkan bahwa Mahkamah Agung harus tidak mempergunakan hukum yang bersifat umum itu sebagai pedoman dalam memutus pada sidang kasasi untuk perkara yang bersumber dari daerah NAD, tetapi dia mesti berpedoman kepada qanun, dalam rangka menopang berlakunya hukum Islam yang khusus berlakunya di NAD. Lewat otonomi Daerah yang digelar di era reformasi ini maka Mahkamah Agung harus menopang setiap produk hukum Daerah dalam rangka memperkokoh makna dari otonomi Daerah tersebut.
Bila Mahkamah Agung, misalnya berkeinginan untuk membatalkan hukum Islam yang diberlakukan di NAD itu maka akan sama artinya dengan membatalkan Otonomi Daerah yang Seluas-luasnya bagi NAD itu. Hilangnya kemandirian dan keleluasaan masyarakat NAD untuk memberlakukan syari`at Islam, jelas merupakan sikap pengebirian terhadap perjuangan panjang masyarakat Aceh yang sudah berhasil diraih di era reformasi ini. Bila hal ini yang terjadi berarti Indonesia mundur kembali kepada era sebelum reformasi.
Hal ini sejalan dengan keinginan masyarakat NAD, seperti terlihat dalam tabel berikut ini;
SIKAP MASYARAKAT JIKA MAHKAMAH AGUNG
MENUKAR KEPUTUSAN MAHKAMAH SYARI`AH DAN
MAHKAMAH SYARI`AH PROPINSINSI


Pertanyaan Sangat
Setuju
Setuju Biasa
Saja Tidak
Setuju Sangat
Tidak
Setuju
Jlh.
Bagaimana pendapat saudara jika Mahkamah Agung dalam putusan kasasi menukar hukum Islam yang ditetapkan oleh Mahkamah Syari`ah, dan Mahkamah Syari`ah Propinsi
5
17
18
60
60
160
Persentase 3,1 10,6 11,3 37.5 37.5 100

Data ini memperlihatkan bahwa pada umumnya masyarakat NAD tidak setuju jika Mahkamah Agung menukar keputusan Mahkamah Syari`ah dan Mahkamah Syari`ah Propinsi. Hal ini terbukti bahwa 75 % masyarakat tidak menginginkan Mahkamah Agung intervensi terhadap penerapan syari`at Islam yang sudah diputus oleh Mahkamah Syari`ah dan Mahkamah Syari`ah Propinsi tersebut, yang terdiri dari 37,5 % tidak menginginkan dengan menolak sangat keras, dan 37,5 % lagi menolak dengan biasa. Hanya sebagian kecil masyarakat NAD, yaitu 13,7 % yang masih setuju diintervensi oleh Mahkamah Agung, yang terdiri dari sangat setuju 3,1 %, dan setuju biasa sebesar 10,6 %. Selebihnya bersikap apatis, yaitu 11,3 %.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terdapat kepuasan penerapan hukum Islam yang sangat tinggi NAD. Hal ini dapat disimpulkan dari semua perkara yang ditangani di Mahkamah Syari`ah (57 perkara seperti terlihat pada tabel sebelumnya, bahkan sudah ada sekitar 100 perkara pada saat penelitian ini dilakukan), namun tak seorang pun yang berkeinginan untuk melakukan upaya hukum banding, meskipun hakim sudah menawarkannya. Bahkan, persidangan sering dilakukan hanya sekali sidang saja, karena terdakwa cenderung bersikap mudah, dan ingin perkaranya cepat diputus. Lebih dari itu lagi, tidak jarang dari mereka itu menginginkan setelah adanya keputusan hakim supaya eksekusi segera dilaksanakan meskipun dengan mengabaikan masa banding dua minggu menunggu keputusan itu berkekuatan hukum, karena terpidana tidak sabar menunggunya. Mengingat banding saja pun sampai saat ini masih 0 %, maka diperkirakan adanya kasasi ke Mahkamah Agung, bahkan Peninjauan Kembali, itu masih jauh kemungkinannya, apalagi keinginan Mahkamah Agung untuk membatalkan keputusan Mahkamah Syari`ah dan Mahkamah Syari`ah Propinsi tersebut dipahami masih sangat jauh.
Dengan mempedomani kelima poin tersebut di atas maka dapat dipahami bahwa pemberlakuan hukum Islam di NAD yang sedang berjalan sekarang ini tidak berakibat terhadap munculnya dualisme hukum pidana di NAD. Penentuan orang sebagai objek hukum yang harus tunduk dan patuh terhadap hukum tersebut semua berada dalam aturan yang jelas. Dengan demikian munculnya kekhawatiran berbagai pihak terhadap terabaikannya asas kepastian hukum, asas keadilan hukum, dan asas persamaan hak dan kedudukan setiap orang di bawah hukum akan terjawab.

Kesimpulan
Berlakunya syari`at Isalam di NAD tidak berimplikasi kepada munculnya dualisme hukum pidana di NAD. Di satu sisi, hukum pidana di NAD telah jelas, yaitu sepanjang telah diatur oleh qanun maka berlakulah qanun tersebut, dan untuk hal yang belum diatur oleh qanun maka tetap berlaku KUH Pidana sebagai kitab ketentuan hukum yang berlaku secara umum di Nusantara, dan ini harus didukung oleh Mahkamah Agung sebagai pihak yudikatif tertinggi, Di sisi lain menyangkut orang sebagai objek hukum yang mesti tunduk dan patuh terhadapnya juga telah jelas, aturan tentang siapa orang yang harus tunduk kepada qanun dan yang harus tunduk kepada KUH Pidana telah dipahami lewat asas personalitas keislaman dan asas territorial. Dengan ketegasan ini, maka adanya kemungkinan munculnya dualisme hukum pidana yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum seperti yang dikhawatirkan segelintir orang tidak akan terjadi.







DAFTAR BACAAN


Abdul Aziz Amir, Al-Ta`zir fi al-Syari`at al-Islamiyah, (Kairo : Dar al-Fikri al-`Arabi, 1976 M.)
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik ORBA, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996)
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri` al-Jinai al-Islami, Juz. 1, (Kairo : Maktabah Daru al-Turas, t.t.)
Al Yasa` Abubakar, Syari`at Islam di Propinsi nangroe Aceh Darussalam Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh : Dinas Syariat Islam Propinsi NAD, 2005)
Bahtiar Efendi, Islam dan Negara: Transrformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Paramadina, 1998)
Bappenas, BPS, dan UNFPA (serta CIDA, AusAID, dan Nzaid) Hasil sensus penduduk pasca sunami tanggal 26 Desember 2005 SPAN (Sensus Penduduk Aceh dan Nias) yang dilakukan pada 15 Agustus – 15 September 2005
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta : Grafiti Press, 1987)
Dinas Syariat Islam Propinsi NAD, Himpunan Undang Undang, Keputusan Presiden, Keputusan Daerah/ Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Dengan Pelaksanaan Syariat Islam, (Banda Aceh : Dinas Syariat Islam, 2005)
Endang Saepuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juli 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islamis dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara RI 1945-1959, (Jakarta : Rajawali, 1986)
Frietz R. Tambunan Pr. dalam, Dinas Syari`at Islam Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Syari`at di Wilayah Syari`at Pernik-Pernik Islam di Nangroe Aceh Darussalam, Fairus M. Nur Ibr. (Ed.), (Banda Aceh : Yayasan Ulul Arham, 2002)
Harian Waspada, Edisi Hari Kamis, 9 Maret 2003
Jimly Asshiddiqie, judul; Hukum Islam di Antara Agenda Reformasi Hukum Nasional, dalam Departemen Agama RI., Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, (Jakarta : Al Hikmah & Ditbinbapera Islam Depag RI., 2001)
Mahkamah Syar`iyah Propinsi NAD, Perkara Jinayat yang diterima dan diputus pada Mahkamah Syar`iyah Propinsi NAD, dan Mahkamah Syar`iyah se Propinsi NAD sampai bulan Oktober 2005.
Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, Juz.IV, (Bandung : Dahlan, t.t.), 28.
Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi NAD, Aceh in Figures Aceh Dalam Angka 2004, (BPS & BAPPEDA NAD, Banda Aceh, 2004)
Pustaka Pelajar, Kumpulan Undang Undang Peradilan Terbaru, Cet. Ke-I, (Jogyakarta : Pustaka pelajar, 2005)
PW NU Jawa Tengah, AULA, No. 4, (Surabaya : Majalah Nahdlatul Ulama, Tahun XXIV April 2002)
Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : CV. Rajawali, 1991)









FORMULIR ISIAN
PENDAFTARAN PARTISIPAN
ANNUAL CONFERENCE KAJIAN ISLAM



NAMA : DR. PAGAR, M.AG.
JABATAN : DOSEN FAK. SYARI`AH IAIN SUMATERA UTARA MEDAN
STATUS PARTISIPAN: PEMAKALAH DALAM SESI PARALEL
JUDUL MAKALAH : DUALISME HUKUM PIDANA DI NANGROE ACEH DARUSSALAM : Analisis Terhadap Dampak Penerapan Hukum Islam
SUMBER PEMBIAYAAN : MANDIRI

Hukum Pidana

RANGKUMAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir mata kuliah hukum pidana





Disusun Oleh :
BILLY GUSTAMA
B1A109034














FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BENGKULU


Bab I
PENDAHULUAN


A. Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana materiel yang berarti isi atau substansi hukum pidana itu.Disini hukum pidana bermakna abstrak atau dalam keadaan diam.
Hukum pidana formil atau hukum acara pidana bersifat nyata dan konkrit.Disini kita lihat hukum pidana dalam keadaan bergerak,atau dijalankan atau berada dalam suatu proses.Oleh karena itu disebut juga hukum acara pidana.
Van Bemmelen merumuskan sebagai berikut:
“Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara,karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana”.
Nyatalah bahwa hukum pidana (Materiel) sebagai substansi yang dijalankan dengan kata-kata”karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana.
Moeljatno,seorang ahli sarjana hukum pidana indonesia bahwa hukum pidana Formil adalah hukumpidana sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Mentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilarang atau di lakukan dengan tidakdi sertai larangan atau sanksi bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Menetrukan kapan dan dalam hal-hal apa jepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat di kenakan atau dijatuhkan pidana.
3. Menetukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.



B. Tempat dan Sifat Hukum Pidana
Adagium bahasa jerman,”Wo Kein Klager Ist,Ist Kein Richter,adalah jika tidak ada aduan maka tidak ada hakim.
Munculah pengertian Hukum publik termasuk hukum pidana yang utama ialah kepentingan umum,bukanlah orang yang bertindak jika terjadi pelanggaran hukum tetapi negara melalui alat-alatnyya.yaitu penjatuhan sanksi berupa pidana atau tindakan. Hukum pidana Formil (Hukum acara pidana) corak hukum publiknya lebih nyata lagi dari pada hukum pidana materil karena yang bertindak menyidik dan menuntut adalah alat negara seperit Polisi atau jaksa jika terjadi pelanggaran hukum pidana.
Menrut Mackay tentang Asas Pokok pidana adalah:yang dapat dipidadana hanya pertama,orang yang melanggar hukum,ini adalah syarat mutlak (Condotio sine quanon),kedua bahwa perbuatan itu melanggar hukum ancaman pidana yang berupa Ultimum remedium setiap orang yang berpikir sehat akan dapat mengerti hal tersebut tidak berarti bahwa ancaman pidana tidak diadakan dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan terlalu jahat dari pada penyakit

C. Pembagian Hukum Pidana Umum dan Khusus
Hukum pidana dapat di bagi atas hukum pidana di kodefikasikan dan yang tidak di kodefikasikan,artinya yang dimuat dalam kitab Undang-undang,sedangkan yang tidak dikodefikasikan,yaitu yang tersebar diluar kodifikasikan dalam perundang-undangan
Tersendiri.








Bab II
SEJARAH SINGKAT
HUKUM PIDANA DI INDONESIA


A. Zaman VOC

Di daerah Cirebon berlaku papakeum cirebon yang mendapat pengaruh VOC.Pada tahun 1848 dibentuk lagi Intermaire strafbepalingen.Barulah pada tahun 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia:
1. Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (stbl.1866 Nomor 55) yang berlaku bagi golongan eropa mulai 1 januari 1867.kemudian dengan Ordonasi tanggal 6 mei 1872 berlaku KUHP untuk golongan Bumiputra dan timur asimg.
2. Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde( Stbl.1872 Nomor 85),mulai berlaku 1 januari 1873.

B. Zaman Hindia Belanda
Setelah berlakunya KUHP baru di negeri Belanda pada tahun 1886 dipikirkanlah oleh pemerintahan belanda yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaanya dengan Code Penal perancis,perlu diganti dan disesuaiakan dengan KUHP baru belanda tersebut.Berdasarkan asas konkordansi (concrodantie) menurut pasal 75 Regerings Reglement,dan 131 Indische Staatsgeling.maka KUHP di negeri belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia Belanda harus dengan penyusaian pada situasi dan kondisi setempat.Semula di rencanakan tetap adanya dua KUHP,masing-masing untuk golongan Bumiputera yang baru.Dengan Koninklijik Besluit tanggal 12 April 1898 dibentuklah Rancangan KUHP golongan Eropa.Dengan K.B tanggal 15 Oktober 1995 dan diundangkan pada september 1915 Nomor 732 lahihrlah Wesboek van strafrecht voor Nederlandch Indie yang baru untuk seluruh golongann penduduk.Dengan Invoringsverordening berlakulah pada tanggal 1 Januari 1918 WvSI tersebut.


C. Zaman Pendudukan Jepang
Dibandingkan dengan hukum pidana materiel,maka hukum acara pidana lebih banyak berubah,karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan.Ini diatur di dalam Osamu Serei Nomor 3 tahun 1942 tanggal 20 sepetember 1942.

D. Zaman Kermedekaan
Ditentukandi dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 terse3but bahwa hukum pidana yang berlaku sekarang (mulai 1946) pada tanggal 8 Maret 1942 dengan pelbagai perubahan dan penambahan yang diseuakan dengan keadadn Negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie di ubah menjadi Wetboek van Stafrecht yang dapat disebut kitab Undang-undanhg Hukum Pidana (KUHP).






















Bab III
TEORI-TEORI TENTANG HUKUM PIDANA

A. Pengertian
Istilah Hukuman Pidana dalam bahasa Belanda sering disebut yaitu Straf.Hukuman adalah istilah umumuntuk segala macam sanksi baik perdata,adminstratif, disiplin dan pidana.
Sedangkan dalam arti sempit pidana diartikan sebagai Hukum pidana.

B. Tujuan Pidana
` Dalam Rancangan KUHP Nasional,telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana,yaitu:
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana menegakan norma hukum demi pengayoman masyrakat.
2. Mengadakan koerksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan konflik yang dityimbulkan oleh tndak pidana,memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyrakat.
4. Membebaskan rasabersalah padaterpidana (Pasal 5).
Dalam literatur bahasa inggris tujuan pidana bisa disebutkan sebagai berikut:
a) Reformation berarti memperbaiki atau merehabitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyrakat.
b) Restraint maksudnya mengasingkan pelanggaran bdari masyarakat,dengan tersingkirnya pelanggaran hukum dari masyrakat berarti masyrakat itu akan menjadi lebih aman.
c) Restribution adalah pembalasan terhadap pelanggaran karena telah melakukan kejahatan.
d) Deterrence,adalah menjera atau mencegah sehingga baik terdakwasebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan,melihat pidana yang diojatuhkan kepada terdakwa.


Bab IV
RUANG LINGKUP KEKUATAN
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

A. ASAS LEGALITAS
Asas ini tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP di rumuskan di dalam bahasa latin:”Nullum Delictum nulla poena sine legipoenali”yang artinya “Tidak ada delik,tidak ada pidana tanpa ketentua pidana yang mendahuluinya.
Ada kesimpulan dari rumus tersebut:
1) Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana,maka perbuatan atau pengabdian tersebut harusdtercantum di dalamundang-undang.
2) Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut,dengan satu kekecualian yang tercantum di dalam pasal 1ayat 2 KUHP.

B. Penerapan Anologi
Utrecht menarik garis pemisah antara imterprestasi eksetensi dan penerapan analogi sebagai berikut:
I. Interfrestasi :Menjalankan undang-undangan setelah undang-undang tersebut dijelaskan.
Anologi :Menjelaskan suatu perkara dengan tidak menjalankan undang-undanag.
II. Interfrestasi :Menjalankan kaidah yang oleh undang-undang tidak dinyatakan dengan tegas.
Anologi :Menjalankan kaidah tersebut untuk menyelsaikan suatu perkara yang tidak disingung oleh kaidah,tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung oleh kaidah,tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut.

C. Hukum Transitoir (Peralihan)
Yang menjadi masalah dalam hal ini.adalahketentuan perundang-undangan yang mana apakah ketentuan hukum pidana saja ataukah ketentuan hukum yang lain, masih dipermasalahkan oleh para pakar sarjana hukum pidana.Menurut Memorie van Toelichting (Memori penjelasan) WvSN (yang dapat dipakai oleh KUHP), perubahan perundang-undangan berarti semua ketentuan hukum material yang secara hukum pidana “Mempengaruhi penilaian perbuatan”.

D. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Ruang Tempat dan Orang
I. Asas Teritorialitas atau Wilayah
Asas wilayah atau teritorialitas ini tercantum didalam pasal 2 KUHP, yang berbunyi : “peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tiap-tiap orang yang di dalam nilai Indonesia melakukan delik (straftbaar feit) disini berarti bahwa orang yang melakukan delik itu tidak mesti secara fisik betul-betul berada di Indonesia tetapi deliknya straftbaar feit terjadi di wilayah Indonesia
II. Asas Nasionalitas Pasif atau Asas Perlindungan
Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (juga Indonesia) berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan negara dilanggar diluar wilayah kekuasaan itu. Asas ini tercantum di dalam pasal 4 ayat 1, 2 dan 4 KUHP. Kemudian asas ini diperluas dengan undang-undang no. 4 tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan juga oleh pasal 3 undang-undang no. 7 (drt) tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi.
III. Asas Personalitas atau Asas Nasional Aktif
Inti asas ini tercantum dalam pasal 5 KUHP, asas personalitas ini diperluas dengan pasal 7 yang disamping mengandung asas nasionalitas aktif (asas personalitas)juga asas nasional pasif (asas perlindungan).
IV. Asas Universalitas
Jenis kejahatan yang diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan Indonesia tapi kepentingan dunia secara universal kejahatan ini dipandang perlu dicegah dan diberantas. Demikianlah, sehingga orang jerman menamakan asas ini welrechtsprinhzip (asas hukum dunia) disini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili terdakwa.

Bab V
INTERPRESTASI
UNDANG-UNDANG PIDANA
A. Pentingnya Interprestasi
Pentingnya interprestasi undang-undang pidana sehingga rumusan delik yang abstrak dapat diterjemahkan ke dalam keadaan yang konkrit penafsiran yang paling sesuai dengan ini adalah penafsiran sosiologis atau sesuai dengan kehidupan masyarakat setempat.

B. Penemuan Hukum Oleh Hakim Pidana
Khusus Indonesia, pasal 27 UU pokok kekuasaan kehakiman mengatakan, bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam hukum perdata dikenal beberapa jenis interprestasi yaitu :
a. Interprestasi menurut tata bahasa
b. Penafsiran historis
c. Penafsiran sistematis
d. Penafsiran sosiologis atau teleologis

C. Jenis-jenis Interprestasi UU Pidana
1. Interprestasi atau Penafsiran gramatika,artinya interprestasi ini didasarkan kepada kata-kata undang-undang sudah jelas, maka harus diterapkan sesuai dengan kata-kata itu walaupun seandainya maksud pembuat undang-undang lain.
2. Interprestasi Dogmatis ini didasarkan kepada secara umum suatu aturan pidana.Misalnya arrest Hoge Raad 27 juni 1898 yang memutuskan agar semua orang melakukan.
3. Interprestasi histories (Historia legis) Penafsiran ini didasarkan kepada maksud pembuat UU ketika diciptakan, jadi dapat dilihat pada Notulen rapat-rapat komisi di DPR.
4. Interprestasi Teleologis penafsiran ini mengenai tujuan UU yaitu jika melampaui kata-kata UU.
5. Interfrestasi Ekstensif,yaitu penafsiran luas hal ini telah dibicarakan di Bab III, dengan hubunganya dengan analogi.Misalnya penafsiran “barang” dilputi aliran listrik,gas,data komputer. Dalam penafsiran otentik di dalam buku I RUU KUHP telah dicantumkan hal ini.
6. Intrefrestasi Rasional (Rationeele Interpretatie).
intreprestasi ini didasarkan kepada ratio atau akal, ini sering munpcul di dalam hukum perdata.
7. Interprestasi Antisipasi ini didasarkan UU baru yang bahkan belum berlaku. Sering dipakai dalam hukum perdata belanda berdasarkan BW.
8. Interfrestasi Perbandingan hukum. Interfrestasi ini didasarkan kepada perbandingan hokum yang berlaku di pelbagi Negara.
9. Interfrestasi Kreatif (Creatieve interpretatie) interfrestasi ini berlawanan dengan interfrestasi ekstensif,di sini rumusan delik dipersempit ruang lingkupnya.
10. interfrestasi Tradisionalistik, dalam hokum pun ada tradisi yang kadang-kadang jelas.
11. Interfrestasi Harmonisasi,interfrestasi ini didasarkan kepada harmonni suatu peratura dengan peraturan yang lebih tinggi.
12. interfrestasi droktriner ini didasarkan kepada doktrin yang berdasarkan ilmu hukum pidana.
13. Interfrestasi Sosiologis,yang berdasarkan dampak waktu.interfrestasi inilah yang mestinya sering dipeergunakan di Indonesia agar unifikasi hukum pidana dapat semua golongan etnik yang beraneka ragam.









Bab VI
Perbuatan dan Rumusan Delik

A. Pengertian Delik
Hukum pidana belanda memakai istilah Strafbaar feit,kadang-kadang Delictum. Tetapi di dalam Negara Anglo-Sexson memakai istilah Offense yang artinya perbuatan pidana atau pristiwa pidana di Indonesia meakai juga istilah “ Delik”

B. Rumusan Delik
Simons merumuskan yang lengkap merupakan :
a. Diancam dengan pidana oleh hukum,
b. Bertentangan dengan hukum,
c. Dilakukan oleh orang yang bersalah,
d. Orang itu bertanggung jawab atas perbuatanya.

C. Perbuatan dan Rumusan Delik dalam Undang-undang
Code penal memakai istilah infraction yang terbagi atas crimes(kejahatan), Delits(Kejahatan ringan). Hukum pidana Inggris memakai istilah Act dan lawannya Omission. Menurut pendapat penulis,Act di baca “Tindakan” dan Omission di baca “Pengabaian” .

D. Cara Merumuskan Delik
Pada umumnya rumusan suatu delik berisi “Bagian Inti” (Bestand delen) suatu delik.Artinya, bagian-bagian inti tersebut harus sesuai dengan perbutan yang dilakukan,barulah seseorang diancam dengan pidana.banyak penulis menyebut ini sebagai unsur delik.tetapi di sini,tidak dipakai istilah “Unsur Delik’’, misalnya delik pencurian terdiri dari bagian inti (Bestand delen):
I. Mengambil
II. Barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
III. Dengan maksud memiliki
IV. Melawan hukum
Didalam rumusan ini terdapat bagian inti “sengaja’’, karena ada delik menghilangkan nyawa orang lain yang dilakukan dengan kealpaan (Culpa), yaitu pasal 359 dan 361 KUHP.

E. Pembagian Delik
Delik itu dapat dibedekan atas pelbagai pembagaian tertentu, seperti berikut ini:
1. Delik kejahatan dan Delik pelanggaran (Misdrijven en overtredingen).
2. Delik Materiel dan delik Formel (Materiele en fomeledelichten).
3. Delik Komisi dan Delik Omisi (Commissiedelicten en Omissiedelicten).
4. Delik yang berdiri sendiri dan Delik yang diteruskan (Zelfstandige en voorgezette delicten).
5. Delik Selesai dan Delik Berlanjut (Aflopende en voortdurende delicten).
6. Delik Tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en gestelde delicten).
7. Delik Bersahaja dan Delik Berkualifikasi (Eenvoudige en gequalificeerde delicten).
8. Delik Sengaja dan Delik Kelalaian atau Culpa (Doleuse en culpose delicten).
9. Delik Politik dan Delik Komun atau Umum (Politieke en commune delicten).
10. Delik-delik dapat dibagi juga atas kepentingan hukum yang dilindungi, seperti deloik terhadap keamanan Negara, delik terhadap orang,delik kesusilan,delik terhadap harta benda dan lain-lain.
11. Untuk Indonesia,menurut Kitab Undang-undang hukum acara pidana pasal 284,dikenal pula delik umum dan delik khusus, seperti delik ekonomi,korupsi,subversi,dll.









Bab VII
KESALAHAN DALAM ARTI LUAS
DAN MELAWAN HUKUM

A. Sengaja
“Sengaja” (opzet) berarti De (Bewuste)richting van den wil op een bepaald misdrijven, ( Kehendak yang disadari yang ditunjukan untuk melakukan kejahatan tertentu).Kemudian perlu dikemukakan tentang adanya teori-teori tentang sengaja itu.Pertama-tama ialah yang disebut teori kehendak. Menurut teori ini,maka “ kehendak” merupakan hakikat sengaja itu.Bantahan dari teori kehendak adalah teori Membayangkan teori dikemukakan oleh frank dlm tulisan Uber den Aufbau des Schulbegriffs, ia mengatakan secara Piskologis,tidak mungkin suatu akibat dapat dikehendaki.

B. Kelalaian ( Culpa)
Van Hamel membagi Culpa atas dua jenis :
kurang melihat ke depan yang perlu,
kurang hati-hati
Tetapi Memori mengatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimana pun juga culpa itu dipandang lebih ringan disbanding sengaja. Dikenal juga di Negara Anglo-Sexson. Disebut dalam pembunuhan pada pasal 359 KUHP.

C. Kesalahan dan Pertanggungjawban Pidana
Dalam pengertian hokum pidana dapat disebut cirri atau unsure kesalahan dalam arti yang,yaitu:
1. Dapatnya dipertanggung jawabkan pembuat
2. Tidak adanya dasar peniadan pidana yang menghapus dapatnya dipertanggung jawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
3. Adanya kaitan piskis antara pembuat dan perbuatan yang adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (Culpa).


D. Melawan Hukum
Melawan hukum Formil diartikan bertentangan dengan Undang-undang apabila suatu perbutan telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum secara Formil.

E. Subsosialitas (subsocialiteit)
Subsoialitas adalah tingkah laku akan penting bagi hukum pidana jika perbuatan itu mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, walaupun bahaya itu kecil sekali jika tidak ada bahaya demikian,maka unsure subsosialitas tidak ada.

F. Taatbestandmassikeit dan Wesenchau
Didalam hukum pidana jrrman yang diikiuti Zevenbergen di Negeri belanda, diterima adanya delik dengan syrarat Taatbestandmassikeit,yang berarti bahwa semua rumusan delik tidak perlu semua bagian inti ada. Unsar-unsur seperti melawan hukum dan patutnya sesuatu perbuatan pidana walaupun semua itu dimasukkan sebagai unsur delik. Sebaliknya, diJerman ajaran ini di ganti oleh Wesenchau pada tahun 1930. ajaran Wesenchau mirip sekali dengan ajaran melawan hukum yang materiel. Ini adalah bahwa ajaransekali pun seuatu perbuatan telah selesai dengan rumusan delik didalam Undang-undang pidana belumlah otomatis merupakan suatu delik. Perbuatan pada dasarnya “ Pada hakikatnya” merupakan delik sesuai dengan rumusan delik yang dipandang sebagai delik.












Bab VIII
DASAR PENIADAAN PIDANA

A. Pengertian
Dua hal yang perlu dijelaskan disini ialah pertama pengertian pebuatan (fiet) dan putusan yang telah tetap.
Van Hamel menunjukan tiga pengertian perbuatan (Fiet):
1) Perbuatan (fiet) terjadi kejahatan (delik). Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam suatu kejadian beberapa orang dianiaya, dan apabila dalam suatu penganiayaan dilakukan pula pencurian, maka tidak mungkin dilakukan pula penuntutan salah sati dari perbuatan-perbuatan itu kemudian dari yang lain.
2) Perbuatan (fiet) perbuatan yang didakwakan. Ini terlalu sempit. Vos tidak dapat menerima pengertian perbuatan (fiet) dalam arti yang kedua ini.
3) Perbuatan (fiet) perbuatan materil, jadi perbuatan itu terlepas dari akibat. Dengan pengertian ini maka ketidak pantasan yang ada pada kedua pengertian terdahulu dapat dihindari.

B. Pembagian Dasar Peniadaan Pidana
yang tercantum didalam undang-undang dapat dibagi lagi atas yang umum (terdapat di dalam ketentuan umum buku I KUHP) dan berlaku atas rumusan delik. Yang khusus tercantum di dalam pasal tertentu yang berlaku untuk rumusan-rumumusan delik itu saja.
Rincian yang umum itu terdapat di dalam:
1. Pasal 44: tidak dapat dipertanggung jawabkan
2. Pasal 48: daya paksa
3. Pasal 49: ayat (1) pembelaan terpaksa
4. Pasal 49: ayat (2) pembelaan terpaksa yang meliampaui batas.
5. Pasal 50: menjalankan peraturan yang sah
6. Pasal 51: ayat (1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang
7. Pasal 51:ayat (2) menjalankan perintha jabatan yang tdak berwenang jika bawahan itu dengan itiket baik memenadang atasan yang bersangkutan sebagai berwenang.

C. Dapat Dipertanggungjawabkan
Praktek di Indonesia mengikuti pengertian luas tersebut.
1. Kemungkinan menetukan tingkah lakunya dengan kemauanya
2. mengerti tujuan nyata perbuatanya.
3. sadar bahwa perbuatannnn itu tidak diperkenakan oleh masyarakat>

D. Daya Paksa
Daya paksa (Overmacht) tercantum di dalma pasal 48 KUHP. Undang-undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan pebuatan karena dorongan keadan yang memaksa.

E. Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa ada pada setiap hukum pidana dan sama usianya dengan hukum pidana itu sendiri. Istilah yang dipakai oleh Belanda ialah noodweer tidak terdapat dalam rumusan undang-undang tersebut:
1. Pembelaan itu bersifat terpaksa.
2. Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilan, atau harta benda sendiri atau orang lain.
3. Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.
4. Serangan itu melawan hukum.

F. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas.
Ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa melampaui batas yaitu,kedua mensyarakatkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama,yaitu tubuh,kehormatan kesusilan, dan harta benda, baik diri sendirimaupun orang lain.
Perbedaanya ialah:
• Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer exces), pembuat melamapaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat,oleh karena itu,
• Maka perbuatan itu tetep melawan hukum,hanya orangnya tidak dipidana karena keguncangan jiwa yang hebat.
• Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampui batas menjadi dasar pemaaf,sedangkan pembelaan terpaksa merupakan dasar pembenaran,karena melawan hukumnya tidak ada

G. Menjalankan Ketentuan Undang-undang
Sebenarnya setiap perbuatan pemerintah melalui alat-alatnya dalam menjalankan ketentuan undang-undang adalah sah dan tidak melawan hukum,asalkan dilakukan dengan sebenarnya dan patut.

H. Menjalankan Perintah jabatan
Pasal 51 KUHP menyatakan:
1. Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksankan perintah jabatanyang diberikan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang,tidak dipidana.
2. Perintrah jabatan tanpa wewenag, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wwenang dan pelaksannya termasuk dalam lingkungan pekerjannya.
















Bab IX
TEORI-TEORI TENTANG
SEBAB AKIBAT
A. Pengertian
Setiap peristiwa sosial menimbulkan satu atau beberapa peristiwa sosial yang lain, demikian seterusnya yang satu mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu lingkaran sebab akibat. Hal inni disbut hubungan kasual yang artinya adalah sebab akibat atau kausalitas.

B. Teori-teori Kausalitas
Demikian keanekaragaman hubungan sebab akibat tersebut kadangkala menimbulkan berbagai permasalahanya yang tidak pasti, oleh karena tidaklah mudah untuk menentukan mana yang menjadi akibat,terutama apabila banyak ditemukan faktor berangkaiyang menimbulkan akibat.
Teori yang mengenealisasi dapat dibagi menjadi 3,yaitu:
1. Teori adaquaat dari Von Kries
Adaequaat artinya adalah sebanding, seimbamg,sepadan.jadi dikaitkan dengan delik,maka perbuatan harus sepadan, seimbang atau sebanding dengan akibat yang sebelumnya dapat diramalkan dengan pasti oleh pembuat.
2. Teori obyektif
Teori Rumeling mengajarkan bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah faktor obyektif yang diramalkan dari rangkaian faktor2 yang berkaitan dengan terwujudnya delik setelah delik itu terjadi.
3. Teori adequaat dari Traeger
Menrutnya adalah pada umumnya dapat disadari sebagai suatu yang mungkin sekali terjadi. Teori tersebut diberi komentar oleh van Bemmelen bahwa yang disebut dengan ini adalah disadari sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi.





Bab X
DASAR PENIADAAN PENUNTUTAN
DAN
PELAKSANANAAN PIDANA

A. Dasar Peniadaan Penuntutan
Dasar peniadaan penuntutan terdiri atas:
I. Tidak ada pengaduan pada delik aduan
II. Tidak dua kali penuntutan atas orang dan perbuatan yang saaaaama tercantum dalam Pasal 76 KUHP.
III. Terdakwa meninggal dunia,tercantum dalam nPasal 77 KUHP
IV. Lewat waktu,tercantum dalam Pasal 78 KUHP.
V. Penyelsaian di luar pengadilan
VI. Terdakwa berumur di bawah 18 tahun (Undang-undang peradilan anak).
B. Dasar Peniadaan Pelaksanaan Pidana

C. Terpidana Meninggal Dunia

D. Lewat Waktu (Verjaring)














Bab XI
HUKUM PENETENSIER

Dalam undang-undang di luar KUHP khususnya Undang-undang Nomor 7 (drt) tahun 1995 tentang Tindak Pidana Ekonomi disebut “tindakan tatatertib” yaitu :
a. Penutupan sebagian atau seluruh perusahaan si tersangka dimana tindak pidana ekonomi itu disangka telah dilakukan
b. Penempatan si tersangka dibawah pengampunan;
c. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tersangka atau pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada si tersangka berhubungan dengan perusahaan itu;
d. Supaya tersangka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu;
e. Supaya si tersangka berusaha supaya barang-barang tersebut dalam pemerintah itu yang dapat disita dikumpulkan dan disimpan di tempat yang ditunjuk dalam pemerintah itu.
C. Jenis-jenis Pidana
a. Pidana Pokok
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
3. Pidana Kurungan
4. Pidana Tutupan (KUHP terjemahan BPHN, berdasarkan UU No. 20 tahun 1946)
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim

1. Pidana Mati
Delik yang diancam dengan pidana mati di dalam KUHP sudah menjadi 9 buah, yaitu :
1. Pasal 104 KUHP
2. Pasal 111 ayat (2) KUHP
3. Pasal 124 ayat (1) KUHP
4. Pasal 124 bis KUHP
5. Pasal 140 ayat (30) KUHP
6. Pasal 340 KUHP
7. Pasal 365 ayat (4) KUHP
8. Pasal 444 k ayat (2) dan pasal 479 o ayat (2) KUHP.
2. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Tetapi juga berupa pengasingan, misalnya di Rusia pengasingan Siberia dan juga berupa pembuangan ke sebrang lautan, misalnya dahulu pembuangan penjahat-penjahat Inggris ke Australia.
3. Pidana Kurungan
Menurut Vos, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai 2 tujuan. Pertama ialah sebagai custodia honesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan yaitu delik-delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti perkelahian satu lawan satu dan pailit sederhana.
Yang kedua sebagai custodia simpleks, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran
4. Pidana Denda
Pada zaman modern ini pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan oleh karena itu pula, pidana denda merupakan satu-satunya pidan ayang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana.
5. Pidana Tutupan
Pidana tutupan disediakan bagi para politis yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan.





Pidan Tambahan
Pidan tambahan disebut dalam pasal 10 KUHP pada bagian b, yang terdiri dari :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim

c. Tindakan (Maatregel)
Sering dikatakan berbeda dengan piidana, maka tindakan bertujuan melindungi masyarakat, sedangkan pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu perbuatan. Tetapi secara teori, sukar dibedakan dengan cara demikian, karena pidana pun sering disebut bertujuan untuk mengamankan masyarakat dan mamperbaiki terpidana.
d. Pidana Bersyarat
Pidan abersyarat yang tercatum pada pasal 14 a sampai dengan 14 f KUHP diwarisi dari Belanda tetapi dengan perkembangan zaman telah terdapat perbedaan atara keduanya. Dalam pidana bersyarat dikenal syarat umum ialah terpidana bersyarat tidak akan melaksanakan delik apapun dalam waktu yang ditentukan sedangkan syart khusus akan ditentukan oleh hakim dan ada juga yang disebut syarat khusus.
e. Pelepasan Bersyarat
Pada pelepasan bersyarat terpidana harus telah menjalani pidananya paling kurang 2/3 nya. Pelepasan bersyarat ini tidak inferatif atau otomatis. Dikatakan “dapat” dierikan pelepasan bersyarat yang dikeluarkan oleh mentri kehakiman.

Hukum Pidana

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
DI BIDANG PERPAJAKAN
Oleh Mokhamad Khoirul Huda, SH. MH1
Abstraksi
Pajak merupakan sumber pemasukan terbesar dalam APBN dimana dari tahun ke tahun perlu peningkatan, akan tetapi dalam kenyataannya terjadi kebocoran-kebocoran yang dilakukan oleh wajib pajak, aparat pajak maupun pihak ke-3 sehingga optimalisasi penerimaan tersebut tidak bisa tercapai. Untuk menimbulkan unsur jera pada pelaku maka ketentuan pidana yang ada dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (UU No.16/2000 jo. UU No.6/83), Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU No.20/2000) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perlu diberlakukan secara selektif. Dalam praktek ketentuan-ketentuan itu tidak digunakan secara optimal oleh aparat penegak hukum, dimana Undang – Undang tentang Tindak Pidana Korupsi lebih mendominasi sehingga ketentuan pidana dalam UU No 16/2000 tidak pernah dipakai. Berdasar azas lex specialist deregat legi generalis maka ketentuan pidana dalam UU No. 16/2000 harus diberlakukan.
Kata – kata kunci : pajak, tindak pidana, wajib pajak
A. Pendahuluan
Dalam suatu negara yang menganut sistem mekanisme pasar, termasuk mekanisme pasar terkendali seperti Indonesia, pajak merupakan “ instrumen “ pemerintah yang sangat vital dan strategis. Dengan uang pajak , pemerintah dapat melaksanakan pembangunan, mengerakkan roda pemerintahan, mengatur perekonomian masyarakat dan negara.
Dalam kaitannya dengan pembangunan dan kesejahteraan, pajak memiliki fungsi-fungsi yang dapat dipakai untuk menunjang tercapainya suatu masyarakat yang adil dan makmur secara merata. Fungsi – fungsi tersebut adalah budgeter / finansial yang memberikan masukan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara dan fungsi regulerend / mengatur bahwa pajak sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik dalam bidang ekonomi maupun politik. ( Erly Suandy, 2002 : 13 )
Adam Smith dalam bukunya An Inquire The Nature and Cause of the Wealth of Nations mengemukakan empat prinsip pokok yang harus di perhatikan dalam pemunggutan pajak yaitu : keadilan (equity ), yuridis (certainty), ekonomis dan efesiensi (convenience of payment ) bahwa penggenaan pajak jangan sampai mematikan atau
memberatkan dunia usaha justru makin memotivasi berkembangnya ekonomi suatu Negara. (Hadi Irawan, 2003, 10)
Menurut Direktur Jenderal Pajak Departemen Keuangan Hadi Purnomo bahwa tingkat kepatuhan pajak masyarakat meningkat pesat dalam tiga tahun terakhir ini, sebagai tercermin dari peningkatan perolehan pajak. Pendapatan pajak meningkat dari Rp. 100 triliun tahun 2001 menjadi Rp.164 trilliun tahun 2002, dan tahun 2003 ditargetkan meningkat lagi menjadi Rp.210 triliun akan tetapi baru terealisasi sebesar Rp. 204,153 triliun dengan perincian Pajak Penghasilan ( PPh ) Migas Rp. 18,78 triliun,PPN non Migas Rp.96,05 triliun, PBB Rp. 8,76 triliun,BPHTB Rp. 2,14 triliun dan pajak lainnya Rp.1,65 triliun. Sedangkan secara terpisah Dirjen Pajak Hadi Poernomo memperkirakan target penerimaan pajak pada APBN sebesar 232 triliun pada tahun 2004. (Jawa Pos, 2004 : 7) Dari perolehan ini sektor perpajakan menyumbang 75 % pendapatan negara. Untuk memenuhi target menjadi 81 % penyumbang pendapatan negara sungguh merupakan pekerjaan yang bukan mudah. Berbagai tantangan dan kendala yang dihadapi demikian kompleks, mulai dari masalah perekonomian nasional dan internasional, pelayanan birokrasi, hingga masalah kepatuhan dan kesadaran wajib pajak.
Kebijakan perpajakan di Indonesia memang mesti dilakukan dengan hati- hati karena kebijakan itu berapapun kadarnya tetap menjadi “disinsentif“ bagi perkembangan dunia usaha yang masih pincang sejak krisis ekonomi. Namun Kebijakan perpajakan tentu saja sulit menggulirkan pembangunan terutama penyediaan infrastruktur dan redistribusi pendapatan.
Apalagi penerimaan negara dari sektor pajak menjadi salah satu indikator kunci keberhasilan pemerintah. Jika ditarik lebih lanjut, apapun sistem pajak yang dilaksanakan maka ukuran keberhasilan akan berpulang pada jumlah setoran pajak pada kas negara, entah dari voluntary compliance wajib pajak ataupun dari tindakan aktif penagihan pajak.
Strategi peningkatan penerimaan pajak yang diterapkan pemerintah selain penambahan jumlah wajib pajak baik pribadi maupun badan, menyederhanakan sistem pajak melalui paket UU perpajakan, reformasi perpajakan tahun 2005 yang berkaitan dengan penurunan tarif tertinggi menjadi 30 %, peningkatan penghasilan tidak kena pajak pada Peraturan Menteri Keuangan No.564 tahun 2004, juga tidak melupakan program peningkatan pencairan tunggakan pajak antara lain melalui perbaikan frekuensi dan mutu penagihan pajak.
Untuk masalah kepatuhan wajib pajak maka Dirjen Pajak mulai mengoptimalkan seluruh aparatnya untuk memaksa wajib pajak yang membandel dan tidak kooperatif dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak .
Adapun hambatan itu bisa berupa perlawanan pasif dan aktif yang dilakukan oleh wajib pajak berbentuk badan hukum ( rechtpersoon, legal persoon ) dan orang pribadi ( naturalijk persoon ) dalam rangka untuk melepaskan kewajibannya membayar pajak, akibat perbuatan wajib pajak ini pemerintah dirugihkan miliaran rupiah. (Muqodim,1996 : 31-33 ) Nilai tunggakan 96 wajib pajak pada awal 2004 mencapai Rp.962,136 Miliar, namun para penunggak pajak itu bersedia mencicil kewajibannya pada akhir tahun 2004.
Menurut Staf Ahli Tenaga Pengkajian Bidang Pengawasan dan Penegakkan Hukum Dirjen Pajak Djangkung Soerjawadi bahwa upaya yang telah dilakukan untuk memaksa wajib pajak membayar pajak dengan diterapkanya paksa badan ( gijzeling ) terhadap wajib pajak yang tidak kooperatif contoh seorang importir berinisial Jasman Liem dari PT. EI Jakarta yang mempunyai tunggakan di Kantor Pelayanan Pajak Sawah Besar Jakarta sebesar 11 miliar dan M. Greenswood seorang warga negara Inggris . ( Media Indonesia , 14 Pebruari 2004 )
Terhadap wajib pajak yang melakukan penghindaran diri dari kewajiban dengan cara penyelundupan ( tax evasion ) terhadap perbuatan tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut atau tidak membayar bea masuk dengan cara suatu peryataan yang tidak benar, atau memberikan data-data tidak benar ( vide keterangan palsu pada dokumen ) maka tindakan ini merupakan pelanggaran undang – undang dalam bentuk tindak pidana.
Adapun sanksi yang bisa dijatuhkan pada wajib pajak bisa berupa sanksi administrasi maupun pidana sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang –Undang Hukum Pidana, Undang – Undang No. 31 Tahun 2001 Jo.Undang – Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang – Undang No.6 Tahun 1983 Jo. Undang – Undang No.10 Tahun 1997 Jo. Undang – Undang No 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Upaya – upaya yang dilakukan aparat pajak dengan terobosan – terobosan dengan menerapkan berbagai kebijakan diharapkan dapat mengoptimalkan tingkat pendapatan dari tahun ke tahun akan tetapi realisasi itu banyak menghadapi kendala terutama berkaitan dengan tingkat kepatuhan dan kesadaran baik dari wajib pajak maupun aparat sendiri, dimana masih terjadi kebocoran – kebocoran dalam realisasi penerimaan pajak, untuk itu dapat dirumuskan permasalahan yang perlu dikaji sebagai berikut :
1. Bagaimana kebijakan hukum pidana positif dalam pengaturan tindak pidana di bidang perpajakan ?
2. Bagaimana sanksi pidana dalam tindak pidana perpajakan ?
B. Kebijakan Hukum Pidana Positif dalam Pengaturan dan Penerapan sanksi Pidana pada Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
1. Kebijakan Hukum Pidana Positif Dalam Pengaturan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan
Hukum pajak merupakan bagian Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Negara. Tetapi beberapa sarjana menganggap bahwa hukum pajak merupakan ilmu yang berdiri sendiri, berdampingan dan sejajar dengan disiplin ilmu yang lain ( Rochmat Soemitro, 1992: 31 ) Dalam hukum pajak disamping ada sanksi administrasi terdapat sanksi pidana yang dijatuhkan untuk pelanggaran dan kejahatan. Hukum pidana seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dan yang terdapat diluarnya, yaitu dalam ketentuan – ketentuan yang khusus ( lex specialist ) untuk mengadakan peraturan-peraturan dalam segala lapangan, merupakan keseluruhan yang sistimatis, karena ketentuan-ketentuan dalam buku I dari KUHP juga berlaku untuk peristiwa-peristiwa pidana ( peristiwa yang dapat dikenakan hukuman = staafbar feit ) yang diuraikan diluar KUHP itu. ( vide pasal 103 KUHP).
Pengertian “strafbaar feit “ terdapat banyak istilah seperti tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana atau delik “. Istilah tindak pidana merupakan pengertian baku yang berarti “ perbuatan yang memenuhi perumusan yang diberikan dalam ketentuan pidana, ketentuan pidana tidak semata-mata terdapat dalam KUHP melainkan juga dalam Undang-Undang Pajak, Undang-Undang Bea Cukai, Undang-Undang Imigrasi dan lainnya. “
Prof. Dr Mr J.Van der Poel ( Direktur Pajak Kerajaan Belanda dan Direktur merangkap Guru Besar Akademi Pajak Rotterdam), dalam bukunya Rondom Composite en Crompomis mengutarakan, bahwa hukum pidana pajak sebanyak mungkin harus sesuai dengan hukum pidana umum. Sudah barang tentu tetap ada ketinggalan perbedaannya yang khusus, karena hukum pajak sangat membutuhkannya dalam detail-detailnya. Lagi pula, sekalipun dasar fikirannya sama, namun dalam sejarah teryata pertumbuhannya agak menyimpang. Menurut pendapatnya, sebelum setengah abad yang lalu, pelanggaran-pelanggaran pajak terlalu dianggap simplistis ( remeh) dan terlalu formal, sedangkan teori dan filsafat yang terbaru mengenai hal itu tidak lagi membedakan antara “ pencurian “ terhadap negara dan pencurian terhadap individu. ( R.Santoso Brotodiharjo,1995: 24 )
Bahwa peraturan – peraturan administrasi pun sangat memerlukan sanksi –sanksinya yang menjamin ditaatinya oleh khalayak ramai. Juga dalam peraturan – peraturan pajak terdapat sanksi – sanksi yang bersifat umum dan khusus, antara lain dimuatlah dalam :
a. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( Generalis / umum )
1. Perbuatan Penyuapan, pasal 209 KUHP
2. Memberikan keterangan palsu di atas sumpah, pasal 242 KUHP
3. Pemalsuan Meterai, pasal 253 KUHP
4. Pemalsuan Surat, pasal 263 KUHP
5. Membuka Rahasia pasal 322 KUHP
6. Pemerasan dan Pengancaman, pasal 368 KUHP
7. Penggelapan, pasal 372 KUHP
8. Melakukan tipu muslihat pasal 387 KUHP
9. Melakukan akal tipu pada TNI dan keadaan khusus, pasal 388 KUHP
10.Kejahatan Jabatan
a. Pasal 415 KUHP
b. Pasal 416 KUHP
c. Pasal 417 KUHP
d. Pasal 419 KUHP
e. Pasal 241 KUHP
f. Pasal 425 KUHP
b. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. UU No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berdasar pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999 : “ setiap orang yang melanggar ketentuan undang – undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang - undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang – undang ini.Adapun pasal – pasal yang berkaitan Tindak Pidana Perpajakan pada pasal 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13 dan 18.
Berdasar pasal 43 B UU No. 20 Tahun 2001 : “ pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, pasal 209 , pasal 210, pasal 378, pasal 378, pasal 388 , pasal 415, pasal 416, pasal 417, pasal 418, pasal 419, pasal 420, pasal 423, pasal 425, dan pasal 435 kitab Undang – Undang Hukum Pidana Jis. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang pengaturan hukum pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9 ), undang – undang nomor 73 tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang perataruan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( LN 1958 No. 127 , TLN. No. 1660 ) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 27 Tahun 1999 tentang perubahan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara, dinyatakan tidak berlaku. Pada UU ini yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan diatur dalam pasal 5,6,7,8,9,10,11,12,12A,12B.
c. Undang – Undang Perpajakan ( Specialist / khusus )
Undang-Undang perpajakan kita membagi tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak dalam dua jenis yaitu tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan.
1) Tindak Pidana Pelanggaran
Pelanggaran sering dipadankan dengan kejahatan yang ringan, ancaman pidana bagi pelaku pelanggaran lebih ringan bila disbanding denga pelaku kejahatan. Ancaman yang dapat dikenakan terhadap wajib pajak yang melakukan pelanggaran kewajiban perpajakan adalah pidana kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda sebesar dua kali jumlah pajak yang terhutang. Dalam UU No. 16 Tahun 2000 perubahan kedua dari UU No. 6 Tahun 1983 dan UU No.9 tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan prinsip – prinsip ancaman pidana pelanggaran ini pun dengan nyata – nyata dimuat dalam : Pasal 38 “ setiap orang yang karena kealpaannya; tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar; sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara , dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun dan atau denda paling lama 2 ( dua ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar .
2)Tindak Pidana Kejahatan
Jika pelanggaran merupakan kejahatan ringan maka kejahatan dapat dipadankan sebagai pelanggaran yang berat. Pelanggaran berat karena ancaman pidananya memang jauh lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran. Ancaman pidana untuk palaku kejahatan ini adalah pidana penjara selama-lamanya tiga tahun dan atau denda setinggi-tingginya empat kali jumlah pajak yang terhutang yang kurang atau tidak dibayar, serta bagi pelaku pengulangan kejahatan ( residive) ancaman pidana dilipatkan dua, dengan ketentuan belum lewat waktu satu tahun. Adapun ketentuan tersebut ada dalam :
Pasal 39 tentang Tindak Pidana Kejahatan
( 1 ) Setiap orang yang dengan sengaja : tidak mendaftarkan diri , atau menyalah gunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ; atau tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; dan menyampaikan surat Pemberitahuan dan atau Keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau, menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ; dan memperlihatkan pembukuan, pencatatan , atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau tidak menyelenggarakan pembukuan, atau pencatatan tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipunggut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi (empat ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
( 2 ) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) dilipat 2 ( dua ) apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 ( satu ) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
( 3 ) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPK sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf ( a), atau menyampaikan SP dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huru ( c) dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua ) tahun dan denda paling tinggi 4 ( empat ) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajip Pajak.
Pasal 41 tentang Sanksi Bagi Pejabat
Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimna dimaksud dalam pasal 34, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000,- ( empat juta rupiah); pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebgaimana dimaksud dalam pasal 34 , dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua ) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah ).
Pasal 41A tentang Sanksi Bagi Pihak ke tiga.
Setiap orang yang menurut pasal 35 undang – undang ini wajib memberi keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 ( satu ) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah ).
Pasal 41B tentang Sanksi Bagi Pihak ke tiga.
Setiap orang yang dengan sengaja menhalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan , dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 ( tiga ) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah ).
Dari semua ketentuan peraturan itu dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana adalah tindak pidana :
a. yang dilakukan oleh wajib pajak
b. yang dilakukan oleh pejabat pajak ( fiskus )
c. yang dilakukan oleh pihak ketiga, yang bukan wajib pajak dan bukan pejabat pajak.
Sedangakan untuk materi yang diancam dengan sanksi pidana adalah :
a. dengan sengaja memasukkan surat pemberitahuan yang tidak benar, atau memberikan data-data yang tidak benar , palsu atau dipalsukan.
b. Memperlihatkan atau menyerahkan pembukuan atau dokumen yang tidak benar, palsu atau dipalsukan;
c. tidak memberikan / menolak memberikan keterangan yang diperlukan oleh Kantor Inspeksi Pajak untuk menetapkan pajak;
d. tidak memperlihatkan pembukuan, dokkumen, dan catatan lain kepada pejabat pajak
e. tidak memberikan kesempatan kepada pejabat pajak untuk melakukan pemeriksaan setempat
f. tidak menyampaikan surat pemberitahuan;
g. tidaak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan NPWP / NPPKP tanpa hak; dan
h. tidak menyetorkan pajak yang telah dipunggut.
2. Penerapan Sanksi Pidana Pada Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
Melihat begitu besarnya peranan penerimaan pajak bagi negara maka undang – undang tentang perpajakan beberapa kali mengalami perubahan untuk menyesuaikan perkembangan dalam bidang perpajakan sehingga tindak pidana di bidang perpajakan bisa di dikurangi / antisipasi . Aturan – aturan secara umum mengacu pula pada aturan – aturan yang lebih umum baik pada Undang – Undang Hukum Pidana maupun Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam penjelasan pasal 38 UU No. 6 tahun 1983 Jo.UU No.9 tahun 1997 Jo. UU No.16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan disebutkan : Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, sepanjang menyangkut administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi tetapi merupakan tindak pidana “. Penjelasan pasal 38 di atas secara jelas mengatur tentang dasar hukum tindak pidana di bidang perpajakan. Namun dalam praktek baik jaksa maupun hakim lebih cenderung menerapkan ketentuan undang – undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap kasus-kasus yang berkaitan tindak pidana perpajakan . Hal ini diungkapkan oleh pakar hukum pidana Unair DR.Sarwarini,SH,MS ( 1999 : 9 ) : Keadaan ini terjadi , baik sebelum maupun sesudah diterapkannya undang – undang perpajakan yang baru. Keadaan tersebut dapat ditolerir jika terjadi sebelum diterapkannya undang undang perpajakan yang lama, tapi sesungguhnya , sangat memalukan, jika dipakai sesudah penerapan undang – undang perpajakan baru”.dimana menyalahi azas lex specialist derogat generali.
Dalam menjerat pelaku tindak pidana perpajakan hakim dan jaksa cuma mengacu pada pasal 14 UU No. 31 tahun 1999 : setiap orang yang melanggar ketentuan undang – undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang - undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang – undang ini. Pasal 43 B UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih bersifat umum itu sehingga perlu di terapkan peraturan – peraturan yang bersifat khusus yaitu UU No. 6 tahun 1983 Jo. UU No. 9 tahun 1997 Jo. UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan .
Dalam proses persidangan tampak bahwa, selain majelis hakim belum pernah menyidangkan kasus perpajakan , hakim maupun jaksa kurang memahami segi teknis ketentuan formal dan materiil yang berkaitan dengan system perpajakan yang baru, hal ini dapat kita lihat dari kasus penggelapan pajak yang divonis penjara 26 tahun karena menyelewengkan dana pajak PT Semen Tonasa . Kedua orang itu yakni Iwan Zulkarnain ( 34 ) dihikum 16 tahun dengan hukuman denda Rp. 100 juta subsider enam bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti kepada negara Rp. 27 Milyar subsider dua tahun penjara dan Asriadi divonis 10 tahun dengan denda Rp. 100 Juta subsider tiga bulan kurungan dan membayar uang pengganti kepada negara Rp. 13 milliar subsider satu tahun penjara oleh Majelis Hakim PN Makassar, Selasa 28 Oktober 2003. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan tim Jaksa Penuntut ( JPU ) Muh.Zainal Arif,SH yang menuntut Iwan Zulkarnaen dengan hukuman 20 tahun penjara, sedangkan Asriadi 15 tahun penjara.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menyebutkan bahwa terhukum Iwan Zulkarnain terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 13 Jo. Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat 1 Jo. Ke 1 jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP . Terhukum melakukan pertemuan dengan terdakwa Asriadi – berkas perkaranya terpisah- yang juga mantan pegawai Kantor Pajak Wilayah XV Sulawesi Selatan. Sedangakn Asriadi terbukti melanggar pasal 2 ayat 1 Jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 Jo.UU No. 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 pasal 64 ayat 1 KUHP tentang Tindak Pidana Korupsi.
Seharusnya hakim dalam memvonis kasus di atas di samping mengacu pada Kitab Undang – Undang Hukum Pidana dan Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menerapakan Undang – Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan khususnya pasal 39 ( 1 ) huruf g yang berbunyi : “ setiap orang yang dengan sengaja : tidak menyetorkan pajak yang telah di punggut atau di potong,sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi 4 ( empat ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.”
Dari kasus penggelapan pajak ini saja baik jaksa maupun hakim sama sekali tidak memasukkan pasal-pasal yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur secara khusus kasus perpajakan ( specialist ).
Demikian pula pada kasus perpajakan yang lain seperti restitusi pajak fiktif senilai 27 miliar di PN Bandung, oknum pegawai pajak yang terbukti memalsukan SSP senilai 15 juta di Menado dan pegawai pajak AR di Jayapura yang terbukti memalsukan SSP PBB senilai 150 juta semua di hukum dengan Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus – kasus di atas memperlihatkan begitu kurang memahaminya hakim dan jaksa mengenai seluk beluk ketentuan formal dan materiil yang diatur dalam undang – undang sistem perpajakan.
C. Kesimpulan
Pajak merupakan pendapatan terpenting bagi negara , untuk itu aturan perpajakan pun di atur begitu detailnya, baik sekarang maupun jaman sebelum dilakukan “ Tax Reform “ dimana ketentuan-ketentuan itu sudah di atur pada KUHP pada pasal 209,242,253,263,322,368,372,387,388,415,416,417,419,441,425 karena sektorperpajakan ini diharap menyumbang finansial terbesar untuk APBN, dalam realisasinya terjadi kebocoran-kebocoran oleh wajib pajak , aparat pajak maupun pihak ke-3 untuk itu di tuangkan ketentuan pidananya di atur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebenarnya di dalam pada UU No. 3 tahun 1971 yang diganti dengan UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001. UU Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan merupakan specialist dari KUHP maupun UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pula tindak pidana di bidang perpajakan pada pasal 38,39,41,41A,41B.
Melihat begitu banyaknya atauran – aturan tindak pidana yang berkaitan dengan perpajakan ini diharapkan para pelaku tidak akan lolos terhadap tindakan yang telah dilakukan , mengacu pada azas Lex Specialist Derogat Generalis maka semua tindak pidana perpajakan itu seharusnya di jertat pula dengan pasal-pasal perpajakan. Akan tetapi harapan itu tidak terlaksana mengingat SDM kita khususnya hakim dan jaksa tidak memahami seluk beluk ketentuan formil dan materiil yang terkait dengan system perpajakan. Dari beberapa kasus perpajakan aparat penegak hukum khususnya jaksa dan hakim lebih menyukai menggunakan pasal-pasal dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di banding Ketentauan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Tetapi permasalahannya vonis yang dijatuhkan pada terpidana itu apakah sudah memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat mengingat sama sekali Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak diterapkan.
D. Saran
a. Perlunya aturan hukum yang jelas mengenai Tindak Pidana di bidang perpajakan dan ketentuan itu dituangkan secara jelas pada UU Perpajakan.
b. Perlunya peningkatan Sumber Daya Manusia pada aparat penegak hukum sehingga vonis yang dijatuhkan bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Waluyo, 1994, Tindak Pidana Perpajakan, Pradnya Paramita,Jakarta
Erly Suandy, 2002, Hukum Pajak, Salemba Empat
H.Rochmat Soemitro,1988, Pajak ditinjau Dari Segi Hukum, Eresco,Bandung
__________________,1991, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Eresco, Bandung
Hadi Irawan , 2003,Pengantar Perpajakan, Bayu Media, Malang
Muqodim,1996, Perpajakan Buku Satu , UII Press, Yogyakarta
_________,1999, Perpajakan Buku Dua , UII Press, Yogyakarta
R.Santoso Brotodiharjo,1995, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung
R.Soesilo,1990, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( KUHP ) ,Politea, Bogor
Sarwirini, “ Kejahatan di Bidang Perpajakan “’ Jurnal Yustika Volume II No.1 Juli 1999, Surabaya
________, “ Perubahan sikap wajib pajak dan aparat pajak dalam Konteks Perubahan Sistem Hukum Pajak di Indonesia”, Yuridika No. 3 Tahun III, Juni-Juli 1998, Surabaya
UU No. 6 Tahun 1983 Jo. UU NO. 9 Tahun 1997 Jo. UU No. 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpjakan , LNRI.Tahun 2999 No. 126, TLN 3984
UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No.20 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LNRI tahun 22000 No. 2000 No. 134 TLN. No.4150
Jawa Pos, Sabtu, 10 Januari 2004 “ Realisasi Pajak Rp.204 Triliun”
Media Indonesia, Sabtu, 14 Pebruari 2004, “ Pemerintah kembali cekal 8 wajib pajak”